ads

TERNATE, TERBITMALUT.COM — Dalam memperingati Hari Pers Sedunia yang dilakukan dalam bentuk aksi Panggung Demokrasi di Landmark Kota Ternate Sabtu, (3/5/2025).

Aksi Panggung Demokrasi ini diinisiasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate bertemakan “Jurnalis Menghadapi Krisis Lingkungan,”. Aksi tersebut juga dihadiri Kadis Diskomsandi Kota Ternate, Damish Bashir.

Dalam kesempatan itu, Damish menyampaikan, bahwa hari ini, di bawah langit biru Ternate yang menjadi saksi sejarah perjuangan. Karena hari ini saudara-saudari memperingati Hari Pers Sedunia. Hari yang bukan hanya merayakan profesi jurnalis, tetapi juga merenungkan kembali tanggung jawab besar yang diemban di tengah dunia yang kian rapuh.

“Karena, menjadi jurnalis bukan sekadar menyusun kata dan memburu berita. Jurnalis adalah penjaga nalar publik, penyambung lidah rakyat, dan sering kali satu-satunya harapan terakhir ketika suara-suara kecil ditenggelamkan oleh kepentingan besar,”ujarnya kepada Terbitmalut.com.

Namun kini, lanjut Kadis Diskomsandi, kita dihadapkan pada krisis yang jauh lebih sunyi, namun sangat menghantui kerusakan lingkungan. Hutan gundul, laut tercemar, tambang rakus yang melubangi perut bumi, dan perubahan iklim yang menghantam nelayan, petani, bahkan anak-anak di pesisir.

“Sehingga, bencana ekologis bukan lagi sekadar berita, ia adalah kenyataan yang menuntut keberanian saudara-saudara untuk bersuara lebih keras dan lebih jujur,”jelasnya.

Menjadi jurnalis lingkungan hari ini bukan tanpa resiko. Intimidasi, sensor, bahkan kekerasan menjadi ancaman nyata. Tapi percayalah, dibalik semua tantangan itu, ada tanggung jawab moral dan sejarah yang tak ternilai.

“Maka kalian harus memperkuat literasi lingkungan di ruang redaksi. Perlu belajar dari sains, bekerja sama dengan aktivis, dan memanfaatkan teknologi untuk membuka tabir kerusakan yang kerap dibungkus rapat-rapat,”ajaknya.

Menurut Damish, jurnalis bukan hanya pelapor kejadian, tetapi penjaga kesadaran. Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali dibentuk oleh kepentingan ekonomi dan politik, jurnalis menjadi penjernih, menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar berita, tapi kenyataan yang mengancam kehidupan manusia secara kolektif.

Menjadi jurnalis lingkungan bukan pekerjaan yang mudah. Karena, banyak di antara teman-teman jurbalis menghadapi tekanan dari korporasi, bahkan dari masyarakat yang belum paham pentingnya keberlanjutan. Berita tentang kerusakan lingkungan sering dianggap subversif, tidak menguntungkan secara ekonomi, atau “tidak viral”.

“Namun justru karena alasan itulah, kalian harus tetap menulis. Dan harus mengangkat suara para petani yang kehilangan lahan, nelayan yang tak lagi dapat ikan, masyarakat adat yang terusir dari tanahnya. Kita harus menyuarakan yang tak terdengar, dan membela yang tak berdaya,”pintanya.

Kadis Diskomsandi juga berharap besar kepada generasi muda jurnalis di Ternate dan Maluku Utara, agar jangan takut menulis tentang lingkungan. Jangan merasa itu tidak seksi atau tidak populer. Justru karena tidak banyak yang berani, kita harus memulai.

“Pelajari sains, pahami kebijakan, dekati masyarakat akar rumput, dan buka mata terhadap praktik-praktik yang merusak. Jadikan pena kita sebagai alat advokasi yang santun tapi tegas. Jadikan kamera kita sebagai saksi yang jujur. Dan jadikan hati kita sebagai kompas yang selalu berpihak pada kehidupan,”harapnya.

Apalagi, di tengah gelombang hoaks, di era pasca-kebenaran, dan di dunia yang kian panas, jurnalisme lingkungan adalah lentera yang tak boleh padam. Mari kita jaga komitmen ini, bukan karena ini mudah, tetapi karena jika kita tidak bersuara, maka alam akan berteriak dalam bentuk bencana.

‘Selamat Hari Pers Sedunia. Mari terus menulis, melaporkan, dan menyuarakan demi bumi yang lebih adil, lestari, dan manusiawi,”pungkasnya. (**)

Editor : Uku

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *