
Korelasi: “Bahasa, Pikiran dan Kemerdekaan”
Oleh ;
Bung Opickh (Penulis Buku)
SAYA memulai percakapan ini dengan beberapa pertanyaan; Apa itu bahasa?. Dengan apa pikiran seseorang itu diketahui?. Dan bagaimana kemerdekaan diperoleh?. Sebelum kita diskusi lebih mendalam, seruput kopinya dan tarik rokoknya dulu kawan.
Bahasan itu bukan sejenis mobil, kapal atau pesawat dan hape android, akan tetapi bahasa memiliki peran yang sangat vital dalam merebut kemerdekaan Indonesia dan bahkan bahasa-lah yang mengkonstruksi peradaban manusia. Coba kita bayangkan saja jika bahasa tak pernah ada, lalu apa yang mengkonfirmasi ide dan realitas disekitar kita.
Kemudian, bagaimana mungkin Bung Tomo bisa membakar arek-arek Surabaya dengan orasinya untuk bangkit mengusir penjajah dan Bung Karno bisa memproklamirkan kemerdekaan?. Kesemua itu jawabannya adalah bahasa. Orang bisa ganteng atau cantik tapi jika tak bisa berbahasa tentu akan mengurangi nilai estetik itu sendiri.
Ataukah seseorang yang populer, kaya dan sepintar apapun jika tak memiliki peralatan yang namanya bahasa, ia pasti kesulitan atau bahkan bisa dibilang mustahil untuk menjadi pemimpin di Maluku Utara saat ini. Karenanya, bahasa tak sekadar kosakata yang dipercakapkan sesama manusia tetapi ia transendental. Artinya bahasa bisa memproduksi cinta, peperangan, perdamaian, kemerdekaan dan bahkan menghubungkan koneksi manusia dengan Tuhannya.
Dalam ilmu linguistik bahasa sebetulnya adalah bunyi yang memiliki arti dan makna tertentu. Ia bukanlah bunyi sembarangan. Misalnya bunyi drum, bunyi kicauan burung dan bunyi Kodok yang bernyanyi saat hujan. Tetapi bunyi yang dihasilkan dari letupan lidah manusia yang kita kenal dengan percakapan. Bunyi-bunyi itu kemudian membentuk susunan kata yang menjadi kalimat dan dari kalimat itulah kita memahami pikiran manusia dan realitas melalui arti dan makna yang diucapkan.
Tetapi teman-teman bahasa juga merupakan sebuah entitas yang sangat kompleks. Terbukti dari perbedaan gagasan beberapa filsuf tentang bahasa. Misalnya Ferdinand de Saussure, dengan gagasan bahwa bahasa adalah sistem tanda simbolik yang digunakan untuk berkomunikasi. Bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang dapat dipelajari secara sinkronis (pada satu waktu) dan diakronis (dalam perjalanan waktu).
Sementara menurut Noam Chomsky “bahasa adalah hasil dari bawaan manusia bukan hasil pembelajaran”. Di lain sisi menurut Jacques Derrida, bahwa bahasa tidak memiliki makna yang tetap dan stabil. Bahasa tidak dapat secara langsung merepresentasikan realitas, melainkan berfungsi dengan mekanisme perbedaan dan penundaan (différance).
Namun saya lebih setuju dengan pikiran yang diutarakan oleh filsuf klasik peletak bahasa yaitu Aristoteles. Menurut Toteles “Language is power” bahasa adalah kekuatan. Bahwa bahasa adalah kemampuan unik manusia sebagai alat komunikasi menggunakan simbol, tanda dan kata-kata. Aristoteles, dalam bukunya “Retorika” bahasa sebagai penanda seberapa rasional pikiran seseorang, seberapa etis dan seberapa baik reputasi seseorang.
Sebelum kita lanjut, minum kopinya dulu kawan. Kita berbicara setiap hari. Kita menulis, membaca, mendengar dan berpikir dalam bahasa. Tapi apakah kita pernah berhenti sejenak, minum kopi dan menarik roko di sebuah malam yang sunyi. Kemudian kita bertanya: Bagaimana kalau semua manusia itu bisu sejak lahir?.
Apa kita bisa mengetahui pikiran manusia yang melahirkan karya?. Dan apa bisa kemerdekaan direbut, dijaga dan dipertahankan hingga saat ini tanpa bahasa?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi inti dari situasi hari ini. Sebuah percakapan yang mencoba memahami realitas dan substansi dari hari kebangkitan Nasional Indonesia. Jawabannya hanya satu yaitu dengan bahasa.
Kemerdekaan Indonesia hanya bisa dipertahankan dari pikiran yang rasional, menghargai sejarah dan dengan terus berdialog melalui metode dialektis. Begitu kata Socrates. Bahwa dengan bahasa percakapan itu bisa diadakan antara pemimpin dengan rakyatnya untuk menghargai hari kebangkitan Nasional. Agar kita tak lagi berdebat dengan oligarki, agar tanah dan kekayaan bangsa ini tak lagi dicicipi sesuka hati oleh cukong dan agar listrik kita tak lagi mati-mati dan PDAM tak sering padam.
Karena itu teman-teman, bahasa bisa melanggengkan kemerdekaan dan bahkan membubarkan suatu negara jika pemimpinnya tak mengunakan pikiran dan kata-kata yang baik dalam menjaga eksistensi kekuasaannya. Mari kita jaga tutur kata kita untuk selalu berucap tentang kebaikan. Di penghujung tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa bahasa adalah alat tercanggih untuk mengkonfirmasikan pikiran, realitas dan kekuasaan.
Berpikirlah dengan rasional, berbicaralah dengan santun, bertindaklah dengan kebaikan dan bentuklah kebiasaan yang baik. Maka kita akan tiba pada kesuksesan dan kebaikan itu sendiri.
“Selamat Hari Kebangkitan Nasional 20, 1948 – 20 Mei 2025” jayalah selalu Bangsa Ku Indonesia. (**)