“Ketika Mikrofon Padam di Rumah Rakyat Maluku Utara”
Oleh: Arafik A. Rahman (Penulis Buku)
“Power should be a check to power.” Kekuasaan hanya bisa dijaga oleh kekuasaan yang lain.— Montesquieu, The Spirit of the Laws (1748)
Rabu, 22 Oktober 2025, ruang paripurna DPRD Provinsi Maluku Utara, yang seharusnya menjadi gelanggang gagasan dan perdebatan nasib rakyat, berubah menjadi arena kegaduhan. Mikrofon anggota dewan yang melayangkan interupsi diabaikan dan tiba-tiba dimatikan oleh pimpinan sidang, Husni Bopeng. Dalam sekejap, suara yang mestinya menjadi representasi rakyat seolah dicabut dari legitimasi konstitusinya.
Anggota Fraksi Hanura, Iswanto, mencoba berbicara, namun suaranya tak terdengar. Nazlatan Ukhra Kasuba dari Fraksi Gerindra mengangkat tangan, juga tak diberi ruang bicara. Sementara, Agriati Yulin Mus dari Fraksi Golkar memprotes keras tindakan tersebut. Suara-suara mereka tenggelam dalam kebisingan prosedural. Ketika mikrofon dipadamkan, keheningan yang muncul bukanlah ketertiban, melainkan pembungkaman.
Tak lama berselang, suasana memanas. Lima anggota Fraksi Hanura, tiga dari Fraksi Gerindra dan dua dari Fraksi Golkar memilih meninggalkan ruangan; total sepuluh anggota dewan melakukan walk out. Sidang pun kehilangan sebagian denyutnya. Padahal di hadapan mereka terbentang agenda penting: pembahasan arah kebijakan fiskal dan moral politik daerah. Namun ruang bicara sudah berubah menjadi ruang sunyi.
Dalam pandangan Montesquieu, melalui karya monumentalnya De l’esprit des lois (1748), kekuasaan legislatif adalah tiang keseimbangan kebebasan politik. Bila kekuasaan satu mengabaikan kekuasaan lain, apalagi sesama anggota lembaga, maka lahirlah benih despotisme kecil di dalam sistem demokrasi. “When legislative and executive powers are united, liberty vanishes.” Ketika pimpinan sidang menjadi hakim atas suara sesama wakil rakyat, maka fungsi kontrol atau check and balance antara kekuasaan tak lagi bekerja.
DPRD sejatinya adalah rumah dialog, bukan panggung kuasa. Di dalamnya, mikrofon bukan simbol kekuatan, melainkan jembatan antara rakyat dan pemerintah. Maka ketika jembatan itu diputus, keterhubungan rakyat pun ikut retak. Yang tersisa hanya suara tunggal dan demokrasi tak pernah lahir dari keseragaman.
Namun di sisi lain, aksi walk out para anggota dewan juga meninggalkan tanda tanya di benak publik. Bukankah kehadiran mereka di ruang paripurna adalah wujud representasi rakyat? Bukankah kata “parlemen” sendiri berasal dari bahasa Prancis parler, yang berarti berbicara?. Karena itu, jika mereka memilih berjalan keluar daripada berbicara di dalam, bukankah itu juga bentuk hilangnya makna “parle” itu sendiri?.
Parlemen hidup bukan dari tapak kaki yang melangkah keluar, melainkan dari suara yang berani disampaikan. Meninggalkan ruang sidang memang bisa menjadi simbol protes, tetapi protes yang sejati adalah ketika seseorang tetap berdiri dan berbicara walau mikrofon dimatikan. Karena demokrasi tidak tumbuh dari keheningan, melainkan dari kegigihan untuk terus berbicara, mendengar dan didengar.
Peristiwa di DPRD Maluku Utara adalah cermin kecil betapa demokrasi lokal masih mencari kedewasaannya. Antara keinginan menjaga wibawa sidang dan keharusan mendengar perbedaan, sering kali ego lebih cepat naik dibanding nalar. Padahal, dalam politik, kesabaran adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan. Rakyat yang menonton dari kejauhan bertanya-tanya: mengapa sidang yang mereka dibiayai dengan pajak dan harapan itu berubah menjadi drama?
Mengapa wakil-wakil rakyat yang kita pilih justru sibuk menegakkan harga diri, bukan menegakkan nurani?. Hans Kelsen, dalam Pure Theory of Law (1934), menegaskan bahwa validitas lembaga politik bergantung pada kepatuhan terhadap norma dasar sistem hukum. Parlemen adalah ruang normatif, bukan ruang emosional. Bila tindakan-tindakan personal melanggar norma etis deliberatif, tentu bangunan hukum demokrasi ikut berguncang.
“The validity of law depends on conformity with higher norms.” Dan norma tertinggi dalam parlemen bukanlah aturan tata tertib tertulis, melainkan semangat mendengar dan menghargai. Dengan begitu, baik tindakan membungkam maupun tindakan meninggalkan sidang sama-sama mengancam nilai representasi. Demokrasi akan lumpuh jika yang berkuasa menutup telinga dan yang mewakili rakyat memilih keluar dari ruang dialog.
Keduanya memperlemah legitimasi institusi. Lebih menyedihkan lagi, Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, tidak hadir dalam rapat tersebut. Padahal ia adalah pemegang otoritas tertinggi dalam kebijakan daerah dan wajah eksekutif yang ditunggu kehadirannya. Ketidakhadirannya membuat rakyat bertanya: di mana pemimpinnya ketika forum tertinggi daerah sedang menyoal nasib mereka?
Absennya gubernur bukan sekadar persoalan jadwal, melainkan simbol lemahnya hubungan antara eksekutif dan legislatif. Dalam politik modern, kehadiran seorang pemimpin di forum rakyat menunjukkan rasa tanggung jawab moral dan simbol legitimasi. Ketika seorang gubernur tidak hadir, rakyat merasakan sepi: seolah tidak ada yang memegang kemudi kapal di tengah ombak.
Fraksi Gerindra sebelumnya telah menegur bahwa gubernur kerap absen dalam rapat-rapat penting, bahkan ketika APBD dibahas. Ini memperkuat kesan bahwa komunikasi politik di Maluku Utara belum berjalan sehat. Demokrasi tanpa dialog hanyalah formalitas tanpa jiwa. Sementara itu, sebagian anggota yang tetap mengikuti sidang memilih bertahan karena berkeyakinan bahwa walkout tidak menyelesaikan masalah.
Mereka tetap duduk, mendengarkan dan menunggu suasana reda. Mungkin mereka tak sepakat dengan cara pimpinan sidang, tapi mereka memilih diam di tempat—membiarkan ruang tetap hidup daripada membiarkan kursi kosong. Dalam kerangka George Jellinek, General Theory of the State (1900), eksistensi negara ditopang oleh tiga unsur hak: normatif, sosial dan politik. Parlemen hidup karena hak politik anggotanya diakui dan dihormati. Bila satu hak yakni hak untuk berbicara dihilangkan, maka tubuh negara kehilangan salah satu organnya. Jellinek menulis: “The state exists where its members participate in its will.” Negara hidup sejauh rakyat (dan wakilnya) ikut berpartisipasi. Jadi, ketika satu mikrofon dimatikan, sesungguhnya yang padam bukan sekadar suara, tetapi sebagian kemauan rakyat Maluku Utara untuk bicara tentang dirinya sendiri. Demokrasi, seperti nyala lampu di tengah laut, hanya berguna jika terus dijaga agar tak padam oleh angin ego dan kepentingan.
Dari peristiwa ini, ada pelajaran yang perlu diambil. Pertama, pimpinan sidang harus kembali pada prinsip keterbukaan: bahwa forum parlemen adalah ruang untuk berbicara dan mendengar, bukan menundukkan apalagi membungkam. Kedua, setiap fraksi perlu membangun budaya etika dan logika untuk berbicara yang berkualitas. Ketiga, gubernur sebagai kepala daerah harus menunjukkan tanggung jawab moral dengan hadir dan berdialog, bukan menghilang di saat genting.
DPRD Maluku Utara dapat membentuk komite etik independen dan mengadakan pelatihan parliamentary leadership ethics agar setiap anggota memahami peran moralnya dalam menjaga marwah lembaga. Transparansi, partisipasi dan integritas harus menjadi nilai dasar baru dalam setiap palu sidang yang dibunyikan.
Karena pada akhirnya, eksistensi parlemen tidak diukur dari jumlah undang-undang yang disahkan, tetapi dari seberapa sering ruang itu menjadi tempat rakyat benar-benar didengar. Bila hari ini mikrofon padam, semoga esok nurani menyala kembali, agar rumah rakyat benar-benar menjadi rumah bicara dan mendengar, bukan rumah penguasa. (**)




