
“Reshuffle: Mengocok Ulang Kartu Kekuasaan”
Oleh ; Arafik A Rahman
“Di negeri yang gemar mengganti wajah, kursi lebih sering bergeser daripada nasib rakyat”
RESHUFFLE, kabinet di negeri ini ibarat opera panjang yang tak pernah selesai. Setiap kali demonstrasi mahasiswa dan rakyat mengguncang jalanan, presiden memilih jalan klasik: mengganti wajah menteri. Publik bersorak sebentar, lalu kembali menghela nafas panjang. Politik kita memang pandai menukar kursi, tetapi jarang menukar nasib.
Demonstrasi yang belakangan ini meledak bukanlah sekadar keramaian jalanan. Ia adalah akumulasi kemarahan pada pajak yang mencekik, tambang yang dikuasai segelintir elit dan lebih jauh lagi, pada DPR yang dianggap kehilangan legitimasi. Yang kemudian melahirkan tuntutan paling tajam adalah: bubarkan DPR atau setidaknya amandemen UU DPR. Namun, yang lahir justru reshuffle menteri.
Lucu memang, ketika rakyat berteriak soal parlemen, yang dikorbankan justru eksekutif. Menteri Semar, Menteri Gatot dan Menteri Srikandi menjadi tumbal pergolakan, seakan-akan merekalah biang kerok seluruh masalah bangsa. Padahal DPR yang dituding publik hanya disentuh sebatas kosmetik: beberapa anggota dinonaktifkan, bukan di-PAW atau dipecat.
Lebih ironis lagi, anggota DPR yang dinonaktifkan itu bukan karena merancang kebijakan yang menindas rakyat, melainkan karena berjoget riang di tengah rapat paripurna saat pembahasan kenaikan tunjangan, atau karena mulutnya lancang berbicara senonoh di ruang publik. Hukuman sebatas “nonaktif” itu justru terasa seperti liburan berbayar, bukan pertanggungjawaban politik.
Fenomena ini menunjukkan betapa reshuffle sering kali bukan jawaban substantif, melainkan manuver politik. Presiden memilih jalur aman: mengorbankan pembantunya, bukan menghadapi tuntutan yang lebih radikal terhadap lembaga legislatif. Dengan begitu, api di jalanan mereda, meski bara tetap menyala di hati rakyat.
Ada keindahan tersendiri dalam kata “reshuffle.” Dari bahasa Inggris yang berarti mengocok ulang kartu. Pertanyaannya: apakah kartu yang sama, bila dikocok ulang, akan menghasilkan permainan yang berbeda? Dalam politik kita, jawabannya jelas: tidak. Apalagi kartu DPR tidak ikut dikocok, hanya diselipkan sedikit agar terlihat baru.
Sastra politik mengajarkan, reshuffle adalah sebuah metafora. Ia bukan hanya pergantian jabatan, tetapi juga upaya mengalihkan sorotan publik. Seperti pesulap yang menggerakkan tangan kanan agar mata penonton tak melihat apa yang disembunyikan tangan kiri. Mahasiswa di jalanan menuntut “bubarkan DPR!”, tapi yang diturunkan malah Menteri Petruk.
Di antara semua korban reshuffle, yang paling dramatis adalah jatuhnya Menteri Srikandi. Padahal ia adalah jebolan universitas terbaik di Amerika Serikat, simbol meritokrasi yang bertahan kokoh sejak era Presiden SBY hingga dua periode Presiden Jokowi. Srikandi selalu tampil elegan, tegas, dan berwibawa hingga akhirnya ia tergelincir oleh lidahnya sendiri.
Ucapan “guru itu beban negara” menjadi titik balik kehancurannya. Kalimat singkat itu lebih tajam dari peluru. Padahal, publik tahu, kesalahan substansinya justru ada pada kebijakan menaikkan pajak demi menyenangkan sang big boss. Namun, politik kita sering kali lebih kejam pada kata-kata ketimbang pada kebijakan.
Candaan politik pun bermunculan di warung kopi. “Menteri Srikandi jatuh bukan karena pajak, tapi karena kalimat,” ujar seseorang. Yang lain menimpali, “Kalau begitu, hati-hati, besok bisa-bisa presiden jatuh gara-gara salah senyum.” Tawa meledak, seolah panggung reshuffle tak lebih dari drama komedi dengan tiket gratis.
Namun dibalik satire itu, ada kegelisahan serius. Rakyat menunggu apakah Menteri Werkudara yang baru bisa menurunkan harga kebutuhan pokok, memperbaiki kualitas pendidikan, atau hanya memperbanyak konferensi pers. Sementara itu, DPR tetap melenggang, dengan beberapa kursi hangat yang hanya berganti nama tanpa pergantian mandat.
Reshuffle juga mengingatkan kita pada konsep “political survival.” Presiden harus menjaga dukungan elite agar pemerintahan tidak goyah. Maka, bila DPR menjadi sasaran amarah, lebih mudah melemparkan beberapa menteri sebagai perisai. Rakyat? Lagi-lagi hanya mendapat bau asap dari dapur kekuasaan. Mahasiswa tahu bahwa tuntutan mereka tidak dijawab. Mereka tidak meminta Menteri Semar atau Menteri Gatot turun, melainkan meminta DPR dibongkar ulang.
Tetapi politik memilih jalur kosmetik: wajah kabinet dipoles, sementara tubuh legislatif tetap berdiri tegak meski penuh luka. Dalam teori politik klasik, langkah ini dapat dibaca melalui kacamata Machiavelli dalam The Prince (1532): penguasa harus siap mengorbankan siapa saja demi mempertahankan kekuasaan. Menteri dijadikan pion yang dikorbankan agar raja tetap bertahan. Sejalan dengan itu, Hobbes dalam Leviathan (1651) menyarankan bahwa demi stabilitas negara, rakyat harus tunduk pada kekuasaan absolut.
Reshuffle seolah menjadi bukti hidup betapa penguasa kita masih setia pada dua warisan lama itu. Padahal yang kita butuhkan bukan Machiavelli atau Hobbes, melainkan Montesquieu dengan gagasan The Spirit of Laws (1748). Bahwa demokrasi hanya sehat bila ada check and balance yang nyata antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika hanya eksekutif yang dikocok ulang, sementara legislatif dan yudikatif tidak diganggu gugat, maka keseimbangan itu runtuh dan rakyat tetap tak terwakili.
Satire politik bisa ditulis begini: “Menteri lama gagal menjawab masalah, maka menteri baru masuk. DPR gagal mendengar rakyat, maka beberapa anggota dinonaktifkan. Selesai.” Padahal rakyat tahu, menonaktifkan bukanlah menghapus akar masalah, melainkan hanya memangkas ranting. Dalam teori politik modern, ini disebut executive scapegoating menjadikan menteri sebagai kambing hitam dari krisis politik. Padahal, jika DPR tetap utuh, masalah representasi rakyat tidak terselesaikan. Seperti rumah yang retak di dinding, tetapi yang diganti hanya jendela.
Maka, menteri yang dicopot bukan selalu yang paling gagal. Kadang justru yang paling vokal. Sementara anggota DPR yang bermasalah hanya disimpan di laci, tak benar-benar diberhentikan. Politik kita ternyata lebih suka merapikan ruang tamu ketimbang memperbaiki pondasi rumah. Publik tentu boleh berharap. Setiap reshuffle, doa terucap: semoga Menteri Werkudara benar-benar tulus melayani rakyat. Tapi publik juga sadar, selama tuntutan bubarkan DPR tidak dijawab, maka reshuffle hanya menambal luka kecil, sementara luka besar tetap bernanah.
Jadi, reshuffle mengajarkan satu hal: kekuasaan lebih suka mengocok ulang kartu menteri, bukan membongkar kebiasaan basi DPR. Kita menonton drama ini, menertawakan, sekaligus menanggung getir. Demokrasi terasa seperti panggung sandiwara yang mewah, tapi tiketnya dibayar dengan keringat rakyat. (**)