
“Modernisasi Armada Nelayan”
Oleh ;
Arafik A Rahman (Penulis buku)
Di negeri yang dikelilingi laut, nelayan sebetulnya adalah raja. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya mereka seperti kapal yang kehilangan kompasnya-usang bersama perahu dan masa lalunya. Sementara di banyak negara maju berbicara tentang pertumbuhan ekonomi biru dan investasi maritim. Suara nelayan justru tenggelam dalam deru mesin-mesin besar yang bukan miliki mereka.
Modernisasi armada nelayan bukan sekadar soal mengganti perahu kayu dengan kapal fiber besar atau mesin diesel. Lebih dari itu, ini soal martabat, keberdayaan dan keadilan di lautnya sendiri. Kita sering lupa, bahwa teknologi yang dipaksakan tanpa akses dan pemahaman hanya akan melahirkan ketimpangan baru. Seperti yang dikatakan Amartya Sen, ekonom dan peraih Nobel: “Pembangunan harus dipahami sebagai perluasan kebebasan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.”
Maka untuk menghindari ketimpangan dan keresahan jalannya modernisasi adalah jalannya. Agar daya tangkapnya lebih bayak, lebih bebas dan dapat bersaing dengan nelayan asing atau korporasi. Jika tidak mereka akan selalu tergantung dan bahkan tersingkir. Lihat saja, nelayan kita hari ini, perahunya kecil, tak ada radar canggih, pengalamannya pedagogi.
Sementara pesaing mereka dengan armada besar yang disokong modal korporasi dan perizinan level langit. Ironisnya, mereka yang hidup paling dekat dengan laut justru paling minus hasil tangkapannya bahkan terancam keberadaannya. Tanpa dukungan infrastruktur, pelatihan dan jaminan perlindungan sumber daya laut, modernisasi hanya menjadi tameng baru untuk eksploitasi lama. Untuk isi perut ikan yang berenangnya di hotel-hotel mewah, ikan itu tak ada urusan soal rakyat yang penting adalah rekening perusahaan mereka gede. Noam Chomsky, intelektual kontemporer, menyindir tepat: “Kapitalisme tanpa regulasi menciptakan kebebasan hanya untuk yang paling kuat.”
Yang dibutuhkan nelayan kita adalah armada tangkap yang modern: radar pendeteksi ikan, kompas, bukan visi baru dan mental tangguh. Semisal Vasco Dagama, Marcopolo dan Ferdinand Magellan. Jangan laut tenang melaut, saat badai mendarat di kamar tidur. Kapan kita akan maju? Jika nelayan kita bermental danau bukan lautan Atlantik.
Negara seharusnya menciptakan sistem yang memungkinkan nelayan kecil naik kelas, bukan ditelan oleh sistem yang mereka tak paham dan tak kuasai. Karena jika tidak, modernisasi hanyalah opini dalam film Avatar yang suka bermain latar dan terang-terangan atau hanya menampilkan wajah baru dari kolonialisme bermesin, berizin, tapi tetap menindas.
Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan, menulis: “Tidak ada revolusi sejati jika rakyat hanya menjadi objek, bukan subjek dari perubahan.” Maka pertanyaannya: apakah nelayan hanya akan jadi objek dari proyek-proyek modernisasi, atau justru jadi motor penggeraknya?. Modernisasi armada nelayan harus dimaknai sebagai revolusi kelas bawah: dari perahu yang sederhana menuju kapal yang berkelas dan berdaulat, dari kerja yang tak dihargai menjadi profesi yang berkelas dan bermartabat. Jika laut adalah masa depan bangsa, maka nelayan adalah penulis takdirnya. Dan sudah saatnya mereka tak hanya mendayung, tapi juga menentukan arah untuk maju dan berjaya. Seperti slogan TNI Angkatan Laut “Jales Veva, Jaya Mahe” justru di laut kita jaya. Bukan kita payahhh. (**)