“Dapatkah DPR Dibubarkan?”

Oleh ; Arafik A Rahman

 

PERTANYAAN, tentang “Apakah DPR bisa dibubarkan?”, mungkin terdengar sederhana, untuk sekadar pelampiasan dinamika kekinian tetapi jawabannya menyimpan lapisan sejarah, filsafat dan politik yang tidak sesederhana membuka botol air mineral. Bagi sebagian rakyat yang bosan dengan tingkah laku para anggota dewan, absensi rapat yang bolong, drama politik yang lebih panjang dari sinetron, atau tunjangan fantastis yang memicu keresahan mahasiswa.

Membubarkan DPR seakan menjadi solusi paling praktis. Bahkan beberapa hari lalu, ribuan mahasiswa turun ke Senayan dengan salah satu tuntutan paling lantang: “Bubarkan DPR!”. Spanduk, poster dan orasi mereka menggema sebagai simbol ketidakpuasan publik terhadap kinerja wakil rakyat. Namun, sistem ketatanegaraan Indonesia berkata tegas: DPR tidak bisa dibubarkan. Pasal 7C UUD 1945 menggarisbawahi: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Ketentuan ini adalah hasil amandemen yang lahir dari trauma sejarah panjang. Kita pernah hidup di masa ketika kekuasaan presiden begitu besar sehingga parlemen kehilangan daya tawarnya, hanya menjadi semacam stempel karet yang sah secara hukum tapi lemah secara moral. Konstitusi kita ingin menghindari pengulangan itu. Karena itulah, para perumus amandemen UUD 1945 memberi perlindungan konstitusional agar DPR tidak bisa ditiadakan, bahkan oleh Presiden sekalipun.

Klausal ini sejalan dengan filsuf politik besar, John Locke, yang dalam karyanya Two Treatises of Government (1690) menegaskan: “Legislative cannot transfer the power of making laws to any other hands; for it being but a delegated power from the people, they who have it cannot pass it over to others.” Artinya, parlemen adalah perpanjangan tangan rakyat dan kekuasaannya tidak bisa dialihkan, apalagi dimusnahkan.

Membubarkan parlemen berarti mengkhianati mandat rakyat, sama saja seperti mematikan suara mereka. Pemikiran Locke lahir dari pengalaman sejarah Inggris sendiri. Pada abad ke-13, rakyat bangsawan memaksa Raja John menandatangani Magna Carta (1215), sebuah piagam yang membatasi kekuasaan raja. Dari sinilah, bibit parlemen pertama lahir: lembaga yang berfungsi mengontrol kekuasaan monarki.

Sementara, di Prancis, awal kelahiran parlemen berbeda jalur. Revolusi Prancis abad ke-18 meletup setelah Raja Louis XVI gagal memenuhi janji keadilan sosial. Pada 1789, rakyat bangkit, membentuk Assemblée nationale (Majelis Nasional) sebagai simbol kedaulatan rakyat. Dari peristiwa itu, kita belajar: ketika raja menolak berbagi kekuasaan, rakyat mengambil alih panggung sejarah. Revolusi Prancis melahirkan ide bahwa kekuasaan bukan milik satu orang, tetapi berasal dari rakyat dan harus dijalankan oleh wakil rakyat.

Maka tentu, tradisi parlemen baik di Inggris maupun di Prancis lahir dari semangat membatasi kekuasaan absolut. Lembaga legislatif menjadi benteng agar kekuasaan tidak sewenang-wenang, sekaligus simbol bahwa rakyat harus didengar. Di titik inilah, gagasan Montesquieu menjadi relevan. Dalam L’Esprit des Lois (1748), ia menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan (trias politica): legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus berdiri terpisah agar kebebasan warga negara tetap terjamin.

Jika semua kekuasaan bercampur dalam satu tangan, maka yang lahir bukan demokrasi, melainkan tirani. Indonesia memang memilih sistem presidensial, di mana presiden kuat dalam eksekutif. Tetapi demi menjaga keseimbangan ala Montesquieu, DPR diberikan “kesaktian” konstitusional agar tidak bisa dibubarkan. Tanpa itu, check and balance akan runtuh, dan demokrasi berubah menjadi monarki gaya baru.

Bagir Manan, dalam Teori dan Politik Konstitusi (1999), menulis: “Parlemen adalah representasi rakyat, maka membubarkan parlemen sama dengan membubarkan kehadiran rakyat dalam proses kenegaraan.” Jika kita sambungkan dengan Locke dan Montesquieu, maka jelas: parlemen adalah mandat rakyat sekaligus benteng kebebasan. Mandat itu tidak bisa dipindahtangankan, apalagi dimusnahkan.

Baik lewat dekrit presiden, kudeta atau bahkan lewat permintaan rakyat yang sedang kesal menonton tayangan rapat paripurna. Namun, tentu bukan berarti DPR kebal kritik. Dalam demokrasi, rakyat tidak bisa membubarkan DPR, tetapi bisa “menghukum” lewat kotak suara. Pemilu adalah sidang pengadilan rakyat yang menentukan apakah seorang legislator masih layak duduk di kursi empuk Senayan.

Di sinilah, meskipun tuntutan mahasiswa membubarkan DPR secara hukum tidak mungkin diwujudkan, substansi kemarahan mereka penting untuk didengar. Ia adalah alarm sosial, tanda bahwa rakyat khususnya generasi muda merasa parlemen gagal memenuhi janji representasi. Rakyat bahkan sering bercanda: “Kalau DPR tidak bisa dibubarkan, bisakah minimal AC-nya dimatikan agar mereka cepat pulang kerja, bukan tidur di ruang sidang?” Candaan ini menghibur, tapi juga menggambarkan keresahan bahwa lembaga perwakilan belum sepenuhnya menjawab aspirasi rakyat.

Sejarah Inggris dan Prancis memberi kita pelajaran: parlemen lahir bukan untuk menjadi ornamen, melainkan untuk menjadi pengimbang kekuasaan. Jika DPR tidak menjalankan peran itu, rakyat berhak marah, meskipun tidak berhak membubarkan. Pada akhirnya, jawaban singkat tetap sama: DPR tidak bisa dibubarkan. Tetapi, melalui bilik suara, rakyat bisa membubarkan karier politik anggotanya. Dan di situlah letak keindahan demokrasi: rakyat tidak perlu turun ke jalan dengan guillotine seperti di Prancis abad ke-18, cukup dengan tinta di jari, kursi kekuasaan bisa berpindah.

“Tanpa kedaulatan rakyat, konstitusi hanyalah teks; tanpa konstitusi, kedaulatan rakyat bisa kehilangan arah.” (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *