ads
ads
ads

“Di Bawah Langit Halmahera, Kami Bukan Penjahat”

Oleh ; Arafik A Rahman

 “Tanah adalah ibu. Menambangnya tanpa restu, berarti mencabik perut ibu sendiri.”

KAWAN, teguk dulu kopinya. Tarik rokoknya pelan-pelan. Biarkan aroma kopi bercampur dengan udara pagi yang segar. Di tengah bising dunia dan debat yang sering hanya memihak para pemilik modal, mari kita duduk dan bertanya dalam bisikan: untuk apa kita bernegara?

Apakah negara hadir untuk mereka yang punya kuasa, ataukah untuk menjaga tanah dan kehidupan mereka yang setia menanam pagi-pagi? Apakah pembangunan hanya tentang tambang, jalan, dan saham, atau juga tentang sawah yang tetap basah dan anak petani yang tetap bisa kuliah?.

Pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita ke sudut paling timur Pulau Halmahera. Di sana, ada 11 petani ditangkap bukan karena merampok, tapi karena memeluk tanahnya sendiri. Mereka bukan perusak, tapi justru penjaga yang berdiri di hadapan alat berat, mempertahankan ruang hidup yang makin menyempit.

Di pagi yang mestinya diisi bunyi cangkul dan suara ayam jantan, Halmahera Timur dibangunkan oleh suara lain: gemuruh mesin tambang dan langkah sepatu aparat. Sebelas petani, yang tubuhnya dibakar matahari dan hatinya diikat pada tanah, ditangkap. Mereka bukan kriminal. Mereka hanyalah warga yang bertanya: “Apakah tanah yang kami tanami selama puluhan tahun ini, kini harus direbut begitu saja oleh lembaran izin?”.

Secara historis, konflik agraria di Indonesia memiliki akar panjang. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), lebih dari 200 konflik tanah terjadi tiap tahun, dan sebagian besar berkaitan dengan perluasan industri ekstraktif. Halmahera Timur bukan pengecualian. Masuknya perusahaan tambang di kawasan pertanian rakyat seringkali didahului dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilegalkan oleh pusat, namun minim konsultasi publik.

Dalam studi Edward Said mengenai imperialisme modern, kekuasaan tidak selalu datang dengan senjata, tapi juga dengan bahasa formal negara dan logika pembangunan yang menyingkirkan suara komunitas. Siapa yang ditangkap?. Mereka yang menyiram cengkeh dan menanam Pala?.

Ke-11 petani itu bukan provokator. Mereka adalah para penanam pagi: mereka yang percaya bahwa tanah adalah pusaka, bukan komoditas. Salah satu dari mereka bahkan belum pulih dari sakit ketika dibawa oleh aparat. Mereka sempat melakukan aksi damai, mendirikan tenda kecil dan menanam ulang pohon-pohon pisang sebagai simbol perlawanan.

Namun, simbol di mata tambang adalah hambatan. Maka kekerasan, seperti biasa, datang dengan seragam. Ada sebuah cerita tentang Pak Tani, seorang bapak berusia 44 tahun. Sebelum ditangkap, ia sempat pulang ke rumah membawa sepohon singkong dan seekor ikan hasil tangkapan di muara sungai dekat kampung. Singkong dan ikan itu dikirim ke anaknya yang kuliah di Ternate “Ini untuk kamu makan di kos, nak,” belajar yang giat nak, supaya besok kau jadi orang sukses tidak seperti ayah dan ibu.

Anaknya tak tahu, kalau itu kirim terakhirnya sebelum ayahnya ditangkap. Seminggu kemudian, ia ditangkap karena “menghalangi aktivitas investasi.” Kini, sang anak hanya bisa membaca kabar dari media online, menggigit bibirnya sendiri untuk menahan amarah dan air mata. Di balik jeruji, istri-istri mereka berdoa siang dan malam, agar negara yang konon berdiri atas nama keadilan, mendengar bisikan penderitaan mereka.

Ada anak yang mestinya sedang sibuk menyusun skripsi, kini termenung di pojok kamar kos, menatap layar ponsel yang tak lagi berdering dari ayahnya. Kiriman uang bulanan yang biasa datang dari hasil panen singkong, kini berhenti. Negara memutus bukan hanya gerak, tapi juga harapan. Menurut teori kekuasaan Michel Foucault, negara sering memakai ‘mekanisme pengendalian’ yang tampak legal, tapi bersifat menindas.

Ketika rakyat mempertanyakan keabsahan tambang, mereka dianggap ‘menghalangi investasi’. Ironis, ketika Undang-Undang mengakui hak atas tanah adat dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan, implementasinya justru menjadi sebaliknya. Di banyak daerah, termasuk Halmahera Timur, hukum tak lagi menjadi pelindung, melainkan menjadi sekutu modal.

Pasal-pasal yang seharusnya melindungi hak hidup, justru digunakan untuk membungkam teriakan petani yang kehilangan tanahnya. Dalam kaca mata ekonomi neoliberal, “ketertiban” lebih penting daripada keadilan. Kawan, jika 11 petani ditangkap hanya karena membela tanah, lalu apa bedanya demokrasi hari ini dengan zaman kolonial?.

Jika tambang lebih dijaga daripada kehidupan, lalu siapa sebenarnya yang kita lindungi?. Mereka bukan meminta emas, hanya ruang untuk menanam dan hidup sederhana. Tapi nyatanya, di negeri ini, menanam bisa lebih berbahaya daripada menambang. Dan jauh dari pusat kekuasaan, ada istri yang tak tidur, ada anak yang tak kuliah, ada rumah yang sunyi karena laki-laki yang paling rajin menanam kini dipenjara.

Negara, dalam wajahnya yang modern, terkadang lupa bahwa tanah bukan sekadar benda mati, tapi tempat hidup yang penuh cinta. Ketika tanah dirampas, yang tercerabut bukan hanya akar-akar tanaman, tetapi juga akar-akar kemanusiaan. Karena itu, atas nama keadilan dan rasa kemanusiaan, kami menyerukan: Bebaskan ke-11 petani Halmahera Timur.

Mereka bukan kriminal, mereka adalah penjaga bumi, perawat pangan, dan penjaga nurani bangsa. Negara tak boleh hadir sebagai algojo bagi warganya sendiri. Jika berkenaan DPRD Halmahera Timur perlu segera membentuk tim perlindungan hukum khusus, yang dapat mengawal proses hukum mereka secara adil dan berpihak pada rakyat kecil.

Jangan biarkan mereka berjalan sendiri dalam lorong panjang peradilan yang sering gelap bagi mereka yang tak punya kuasa. Sebab hari ini, mungkin mereka yang dirampas, tapi suatu saat nanti bisa jadi kita.

“Satu hari nanti, tanah akan berbicara. Dan kita semua akan ditanya: di sisi mana kita berdiri?” (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *