
“Menyambut Kunjungan Wakil Presiden RI di Maluku Utara”
Oleh ; Arafik A. Rahman (Penulis Buku)
“Pembangunan yang melupakan manusia hanyalah bentuk lain dari kolonialisme yang disamarkan.” — Amartya Sen, Development as Freedom (1999).
KUNJUNGAN, seorang wakil presiden ke daerah bukan sekadar agenda kenegaraan, melainkan manifestasi dari komunikasi vertikal antara pusat dan daerah dalam menata arah pembangunan nasional. Dalam kerangka akademik, kunjungan semacam ini idealnya menjadi ruang evaluasi dan refleksi bersama: apakah kebijakan yang selama ini dilaksanakan telah menjawab kebutuhan rakyat atau justru menambah daftar ketimpangan yang belum selesai?. Maluku Utara, dengan kekayaan alam dan sejarah maritimnya, menanti kedatangan Gibran Rakabuming Raka dengan dua wajah: satu wajah penuh harapan dan satu lagi penuh tanda tanya.
Harapan kami cukup sederhana: agar kehadiran sang wakil presiden tidak berhenti pada seremoni simbolik, tetapi menembus substansi pembangunan yang berkeadilan. Rakyat di pulau-pulau kecil tak menuntut proyek raksasa, mereka hanya ingin sekolah yang layak, harga sembako dan BBM yang adil, dan jalan desa yang tak lagi berlubang. Mereka ingin listrik yang tidak sering padam saat malam belajar tiba, jaringan internet yang tidak hilang di tengah pembelajaran daring, serta akses komunikasi yang tidak menjadi kemewahan bagi masyarakat pesisir.
Maluku Utara adalah tanah dengan sejarah panjang perebutan. Sejak abad ke-16, wilayah ini menjadi arena bagi bangsa-bangsa Eropa yang mengincar cengkeh dan pala; dua rempah kecil yang pernah membuat dunia bertempur. Kini, setelah lima abad berlalu, aroma kolonialisme itu masih terasa, hanya berganti nama menjadi “investasi” dan “hilirisasi”. Bedanya, kali ini penjajahnya datang dengan jas, dasi dan naskah rencana pembangunan berkelanjutan.
Dalam kacamata filsafat pembangunan, relasi antara kekuasaan dan kesejahteraan rakyat adalah ruang ujian moral yang tak pernah selesai. Lord Acton menulis bahwa kekuasaan selalu berpotensi merusak karena manusia mudah terperangkap oleh ilusi pengaruh. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan hanya alat memerintah, tetapi juga cermin kepribadian. Seorang pemimpin sejati diuji bukan ketika ia berkuasa, melainkan ketika ia mendengarkan.
Maluku Utara, dengan kekayaan laut, mineral, dan budaya maritimnya, tidak membutuhkan pidato pembangunan yang klise. Ia butuh kebijakan yang memihak pada rakyat pesisir, bukan pada kepentingan konglomerasi tambang. Sebab di balik kata “hilirisasi”, sering tersembunyi tragedi ekologis: sungai yang tercemar, laut yang keruh, dan tanah yang kehilangan kesuburannya. Di sekitar kawasan tambang, kesenjangan sosial makin menganga para pekerja lokal tetap miskin, sementara alat berat dan kendaraan perusahaan bergemuruh siang malam di atas tanah yang dulu subur dan hijau.
Rakyat berharap, semoga Pak Wakil Presiden tidak hanya melihat pabrik-pabrik megah atau gedung pemerintah yang dicat ulang, tetapi juga melihat jalan-jalan yang berlubang di Haltim, Morotai, Halbar dan Sofifi, sekolah-sekolah di pedesaan yang jauh dari kata layak, serta rumah-rumah rakyat yang nyaris roboh karena lupa disentuh pembangunan. Semoga beliau melihat listrik yang sering padam tanpa jadwal, jaringan internet yang sering hilang dan tidak gratis bagi pelajar miskin, serta petani yang tanahnya diserobot oleh pihak korporasi atas nama “izin resmi”.
Kehidupan elite nasional di negeri ini terlalu akrab di telinga rakyat. Para pejabat berdasi datang dengan narasi “pemerataan ekonomi”, namun rakyat di pesisir hanya melihat kapal besar membawa hasil bumi keluar, tanpa meninggalkan apa-apa selain limbah dan janji. Maka ketika Gibran datang, rakyat berharap ia tidak sekadar meninjau pabrik atau tambang, melainkan menatap wajah nelayan yang masih menambal jaring di tepi pantai tanpa subsidi solar. Bagi rakyat, pembangunan bukan sekadar beton dan baja, tetapi kehadiran negara yang memberi rasa aman dan peluang tumbuh. Ketika anak-anak di Pulau Morotai masih belajar di ruang berdinding papan, ketika petani di Patani menjual hasil bumi dengan harga murah, maka setiap kunjungan pejabat harus membawa empati, bukan angka statistik.
Dalam pandangan Amartya Sen, pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Maka, pembangunan yang sejati di Maluku Utara bukanlah tentang peningkatan kapasitas tambang atau investasi asing, tetapi tentang kebebasan rakyatnya untuk hidup bermartabat tanpa harus menggadaikan laut dan hutan mereka. Sayangnya, dalam banyak praktik politik, pembangunan masih dilihat sebagai proyek fisik, bukan proyek kemanusiaan. Pemerintah sering kali sibuk membangun “citra” daripada membangun rasa percaya.
Padahal, kehadiran seorang pemimpin di tengah rakyat semestinya menjadi simbol bahwa negara hadir bukan sebagai pengawas, melainkan sebagai pengasuh. Kedatangan Gibran kali ini menjadi ujian bagi arah pembangunan nasional di kawasan timur. Apakah ia akan datang sebagai pemimpin yang mendengar atau sekadar pewaris gaya lama yang berbicara tanpa mendengar? Apakah ia akan membawa kebijakan yang berpihak atau hanya membawa daftar proyek strategis nasional yang tidak menyentuh kehidupan rakyat?.
Kita tentu menyambut dengan sopan, sebab sopan santun adalah bagian dari budaya orang Maluku Utara. Tetapi kesopanan itu tidak berarti kepatuhan membisu. Rakyat Maluku Utara telah lama belajar bagaimana menatap kekuasaan dengan hormat, namun juga dengan kewaspadaan. Mereka tahu, bahwa tidak semua kunjungan membawa berkat; sebagian membawa janji yang hilang di angin laut. Di pesisir Halmahera, nelayan sering berkata, “Yang datang menatap laut belum tentu tahu bagaimana rasanya tenggelam.” Kalimat sederhana itu adalah satire paling dalam tentang jarak antara pejabat dan rakyat. Sebab dalam politik, empati lebih berharga daripada seribu strategi pembangunan.
Dan mungkin, seperti yang diingatkan Acton, kekuasaan memang mudah membuat lupa. Karena itu, rakyat Maluku Utara hanya berpesan: datanglah dengan hati, jangan sekadar dengan kebijakan hilirisasi. Dengarkan denyut kehidupan di balik ombak, di lereng-lereng gunung dan di tepian sungai Halmahera. Agar semua yang dilihat dan di dengar tak sekadar sebagai laporan diatas meja kekuasaan. (**)