ads

“MBG Yes, Limbah No”

Oleh ; Syarif Tjan (Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Kota Ternate)

PROGRAM, Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi wujud nyata perhatian pemerintah terhadap pemenuhan gizi anak-anak Indonesia. Di Kota Ternate, program ini dioperasikan melalui 13 dapur MBG. Setiap harinya, masing-masing dapur MBG sanggup mengolah 2.000 hingga 3.000 porsi makanan bergizi bagi anak-anak sekolah.

Di balik keberhasilan yang tampak, muncul pertanyaan yang kerap terabaikan: apa konsekuensi lingkungan dari aktivitas besar yang berjalan setiap hari ini?. Ribuan porsi makanan yang diolah setiap pagi tentu tak hanya memenuhi kebutuhan gizi anak -anak sekolah, tetapi juga meninggalkan jejak limbah dari sisa bahan organik hingga air bekas cucian yang mengalir tanpa penyaring. Di titik inilah keberlanjutan program sosial seperti MBG diuji. Mampukah ia tetap menebar manfaat sosial tanpa meninggalkan beban ekologis bagi kota Ternate?.

Karena itu, agar program MBG benar-benar menjadi simbol kesejahteraan yang berkelanjutan, ia perlu menanamkan kesadaran baru. Setiap porsi gizi juga harus menyisakan ruang bagi kelestarian lingkungan. Jejak Air Limbah dan Sampah dari Dapur MBG Air adalah urat nadi kehidupan di setiap dapur. Dari mencuci beras, membersihkan sayuran, hingga membilas ribuan wadah makan, air menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas dapur MBG. Untuk membayangkan skalanya, satu dapur dengan kapasitas 3.000 porsi per hari bisa menghabiskan air hingga ratusan m³ setiap harinya.

Jika dapur dilengkapi sistem hemat air seperti three-compartment sink (cuci–bilas–sanitasi) dan pengatur aliran, konsumsi air bisa ditekan hingga sekitar 39 m³per hari. Namun kenyataannya, sebagian besar dapur MBG di Ternate masih mengandalkan cara tradisional: air dibiarkan mengalir tanpa henti. Dalam kondisi ini, penggunaan air dapat melonjak hingga 66 m³, bahkan 129 m³ per hari dalam skenario paling boros. Kalikan saja dengan jumlah seluruh dapur MBG di Ternate sekitar 13 dapur aktif maka total kebutuhan air bisa mencapai antara 858 hingga 1.677 m³ per hari. Volume sebesar ini setara dengan kebutuhan air bersih ratusan rumah tangga. Dalam konteks kota kecil seperti Ternate, angka itu mencerminkan beban ekologis yang tidak bisa diabaikan. Air yang mengalir masuk ke dapur, pada akhirnya keluar menjadi air limbah. Campuran sabun, minyak, dan sisa makanan itu kerap langsung dibuang ke saluran drainase tanpa melalui proses penyaringan. Padahal, lemak dan minyak yang terbawa bisa mengendap di pipa, menyumbat aliran, memicu pencemaran, serta menurunkan kualitas air dan lingkungan.

Dari pengamatan langsung di lapangan, seluruh dapur MBG di Kota Ternate belum menerapkan sistem penyaringan sederhana atau grease trap untuk menahan lemak dan sisa minyak dari kegiatan memasak dan cucian. Akibatnya, limbah cair yang mengandung minyak, lemak, dan sisa bahan organik langsung mengalir ke saluran pembuangan tanpa proses penyaringan, sehingga berpotensi mencemari air tanah, menimbulkan bau tak sedap, menyumbat saluran drainase, serta menurunkan kualitas lingkungan di sekitar dapur MBG. Masalah ini tidak bisa dianggap sepele. Air limbah dengan kadar lemak tinggi bisa mempercepat pendangkalan saluran, meningkatkan risiko genangan, dan menjadi sumber penyakit di lingkungan sekitar.

Maka disinilah peran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menjadi penting. DLH tidak hanya bertugas mengawasi, tetapi juga membimbing dan mendampingi. Dapur-dapur MBG perlu diarahkan untuk memiliki sistem pengolahan air limbah sederhana. Hal ini dimaksudkan agar air buangan yang keluar tidak mencemari lingkungan, melainkan dapat digunakan kembali untuk kebutuhan non konsumsi seperti menyiram tanaman atau membersihkan lantai.

Selain air, masalah lain yang tak kalah penting adalah sampah organik. Setiap hari, dapur MBG menghasilkan sisa bahan pangan, kulit bawang, batang daun, potongan sayuran, nasi sisa, hingga lauk yang tak tersalurkan. Berdasarkan estimasi umum dapur besar, setiap 1.000 porsi makanan bisa menghasilkan antara 60 hingga 90 kilogram sampah organik. Itu artinya, dari 13 dapur MBG dengan kapasitas sekitar 3.000 porsi per hari, total sampah organik bisa mencapai 2,3 hingga 3,5 ton setiap hari. Angka itu bukan sekadar statistik. Jika semua sampah organik itu berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), maka program sosial yang sejatinya membawa kebaikan justru menambah beban bagi lingkungan. Padahal, semua sisa dapur tersebut sebenarnya bisa dimanfaatkan jika dikelola dengan pendekatan ekonomi sirkular. Sampah organic dapat diubah menjadi kompos, pakan maggot, Eco-enzyme atau bahan dasar pupuk organik cair.

Langkah kecil seperti pemisahan sampah organik dan anorganik serta penyediaan wadah komposter di setiap dapur bisa menjadi awal perubahan besar. Saat ini DLH Kota Ternate sudah mulai mendorong kebiasaan ini melalui program bank sampah dan edukasi pengelolaan sampah organik rumah tangga. Konsep serupa bisa diperluas ke dapur MBG dengan melibatkan para pengelola yang sebagian besar ibu rumah tangga. Dengan pelatihan sederhana, mereka bisa mengolah sisa dapur menjadi kompos atau membudidayakan maggot. Jika itu dilakukan, maka dapur MBG tidak hanya menebar gizi, tetapi juga menumbuhkan ekonomi sirkular di tingkat lokal. Dari sana kita belajar bahwa setiap sumber daya ( air, bahan pangan, energi) masuk sebagai berkah, dan seharusnya keluar kembali dalam bentuk yang memberi manfaat, bukan merusak. Ketika siklus itu ditutup dengan baik, dapur MBG akan menjadi contoh nyata bahwa kegiatan sosial bisa berjalan seiring dengan tanggung jawab ekologis.

Menata Kembali Dapur Sosial

Program MBG sejatinya adalah kebijakan sosial yang progresif. Namun keberhasilannya tidak boleh hanya diukur dari banyaknya anak yang kenyang, tetapi juga dari sejauh mana dapur-dapur itu meninggalkan jejak ekologis yang minimal. Dapur MBG di Kota Ternate memiliki potensi besar menjadi proyek percontohan dalam penerapan prinsip ekonomi sirkular. Dalam konteks ini, ada tiga hal utama yang bisa diperkuat.

Pertama, efisiensi penggunaan air harus menjadi prioritas. DLH bisa mendorong penghematan konsumsi air disetiap dapur MBG untuk menekan konsumsi air, serta menumbuhkan kesadaran baru bahwa penghematan adalah bagian dari kepedulian lingkungan.

Kedua, pengelolaan limbah cair dan padat perlu menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem dapur MBG. Setiap dapur MBG sebaiknya memiliki grease trap untuk menahan lemak dan minyak, serta sistem pemisahan antara limbah cair dan padatan organik. Sisa makanan bisa dikumpulkan untuk diolah menjadi kompos, sementara air limbah disaring dan dimanfaatkan kembali. Dengan begitu, dapur MBG tidak hanya menjadi tempat memasak, tetapi juga pusat pembelajaran non formal tentang keberlanjutan lingkungan.

Ketiga, penting untuk membangun jejaring antar dapur MBG dalam skema ekonomi sirkular. Sampah organik dari seluruh dapur bisa dikumpulkan di satu lokasi pengomposan bersama. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk taman sekolah, kebun kota, atau bahkan dijual sebagai produk lokal bernilai ekonomi. Dari dapur yang sederhana, lahir rantai nilai baru yang tak sekedar memenuhi gizi anak – anak sekolah, tapi juga menyuburkan tanah.

Lebih jauh dari itu, dapur MBG seharusnya dipandang sebagai laboratorium sosial-ekologis. Di sana para pengelola belajar menjaga kebersihan, menghemat air, dan mengelola limbah. Anak-anak yang menikmati makanan dari dapur MBG ini pun bisa dikenalkan pada nilai keberlanjutan, bahwa makanan bergizi yang berasal dari dapur MBG juga peduli pada lingkungan.

Jika budaya ini tumbuh, kita tidak hanya mencetak generasi sehat, tapi juga generasi sadar lingkungan. Itulah warisan paling berharga yang bisa diberikan program MBG bagi masa depan. DLH Kota Ternate akan terus mengawal langkah kecil ini agar Kota Ternate menjadi kota yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, program MBG perlu dimaknai bukan semata sebagai kebijakan gizi nasional, melainkan juga gerakan moral untuk hidup selaras dengan alam. Kita memberi makan anak-anak hari ini, tetapi juga harus memastikan bumi yang menopang kehidupan mereka tetap lestari dimasa yang akan datang.

“MBG Yes, Limbah No” bukan sekadar slogan. Ia adalah pesan moral: bahwa kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan tidak boleh berjalan di jalur yang berbeda. Gizi yang baik bukan hanya untuk tubuh manusia, tetapi juga untuk tubuh bumi yang menjadi rumah kita bersama. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *