JAKARTA, TERBITMALUT.COM — Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto menilai bahwa Jakarta akan tetap menjadi daerah khusus meskipun tidak lagi menjadi ibu kota negara.
Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Ramadhan dan Silaturahmi bertajuk “Jakarta Pasca Bukan Menjadi Ibukota Republik Indonesia” di Hotel Horison Ultima Menteng Jakarta pada Kamis (28/3/2024) yang digelar Yayasan Pelita.
Pasalnya Jakarta sudah terbentuk menjadi kota yang multifungsi dan tersentralisasi baik secara ekonomi bisnis, sosial dan politik.
“Saya menilai meskipun tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta tetap menjadi kota yang istimewa dan belum tentu kota lain bisa mengimbangi Jakarta”,ucap Hery.
“Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI. UU DKJ menjadi payung hukum bagi Jakarta yang telah kehilangan statusnya sebagai ibu kota negara,”ungkapnya.
Sebagai upaya mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangannya, perpindahan Ibu Kota Negara ini menjadi perhatian Ombudsman RI terutama dalam hal kesiapan infrastruktur IKN baik infrastruktur jalan, perkantoran, perumahan, rumah sakit, fasos maupun fasumnya.
“Ombudsman saat ini sedang membuat kajian terkait persiapan infrastruktur di IKN. Rentang waktunya mulai dari tahun 2022 hingga 2024. Kami akan melihat sudah sejauh mana dan berapa persen kesiapannya,”terangnya.
Sementara itu, Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas mengatakan, nantinya Jakarta pasca tidak menjadi Ibu Kota Negara akan memiliki 16 kewenangan khusus yang tidak dimiliki kota maupun provinsi lain baik pekerjaan umum sampai bidang pertanahan.
Salah satunya adalah sistem aglomerasi dimana pengelolaannya akan membutuhkan bantuan beberapa wilayah meskipun berbeda dari sisi administrasinya.
“Karena, Jakarta harus menjadi kota global dan tentunya tidak bisa berdiri sendiri, dan tetap butuh support dari wilayah sekitar,”ujar Supratman.
Dia menjelaskan 7 garis besar materi muatan dalam RUU DKJ, yakni pertama, perbaikan definisi kawasan aglomerasi dan ketentuan mengenai penunjukan ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi oleh presiden, yang tata cara penunjukan-nya diatur dengan keputusan Peraturan Presiden.
Kedua, ketentuan mengenai gubernur dan wakil gubernur dipilih melalui mekanisme pemilihan. Ketiga, penambahan alokasi dana paling sedikit lima persen bagi kelurahan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi sesuai dengan beban kerja wilayah administratif yang wajib diperuntukkan untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.
Keempat, pengaturan mengenai pemberian 15 kewenangan khusus bagi Pemerintah Daerah Khusus Jakarta. Kewenangan khusus itu mencakup pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; penanaman modal; perhubungan; lingkungan hidup; perindustrian; pariwisata dan ekonomi kreatif; perdagangan; pendidikan; kesehatan; kebudayaan; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; kelautan dan perikanan; dan ketenagakerjaan.
Kelima, pemantauan kemajuan dan kebudayaan dengan prioritas kemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta, pelibatan lembaga adat dan kebudayaan Betawi, serta pembentukan dana abadi kebudayaan yang bersumber dari APBD. Keenam, penyesuaian terkait pendapatan yang bersumber jenis retribusi perizinan tertentu pada kegiatan pemanfaatan ruang, yang tata cara penetapan tarifnya diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketujuh, penambahan ketentuan lain terkait pertanahan.
Sekretaris Otorita Ibu Kota Negara, Acmad Jaka Santos sependapat bahwa meskipun tidak menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta tetaplah ibu kandung Ibu Kota Nusantara.
“Dikarenakan mayoritas investor Ibukota Nusantara berasal dari Jakarta ataupun kolaborasi dari berbagai perusahaan di Jakarta sehingga menurutnya Jakarta akan tetap berkembang menjadi andalan bagi ekonomi global,” tambahnya. (**)
Editor : Sukur