“Politik Itu Bersih dan Suci”

Oleh: Bung Opickh

 

DALAM, pikiran mayoritas masyarakat, politik sering dipahami sebagai ruang yang kotor, penuh intrik dan dipadati wajah-wajah yang siap mengkhianati siapa saja demi suatu kepentingan. Ungkapan “politik itu kotor” begitu mudah keluar dari mulut rakyat, seolah sudah menjadi pepatah turun-temurun. Padahal, dalam kerangka filosofis dan teori negara, politik justru dilahirkan sebagai sesuatu yang bersih, bahkan suci. Ia adalah disiplin ilmu yang dirancang untuk menjaga kehidupan bersama agar tetap berada dalam orbit keadilan. Kotor atau tidaknya politik, selalu bergantung pada manusianya, bukan pada politik itu sendiri.

Secara konseptual, politik adalah seni mengatur polis: komunitas manusia, agar setiap individu memperoleh tempat yang adil dan sejahtera dalam struktur kehidupan. Kita dapat menengok kembali ke pemikiran Aristoteles dalam Politika, di mana ia menulis bahwa politik adalah upaya tertinggi manusia untuk mencapai eudaimonia, kebahagiaan yang bermartabat. Dengan kata lain, politik bukanlah ruang perebutan kekuasaan, melainkan wadah bagi manusia untuk hidup baik bersama-sama. Bila tujuan tertingginya adalah kebaikan, bagaimana mungkin ia disebut kotor?.

Namun, sejarah menunjukkan hal berbeda. Politik sering diseret menjadi alat untuk ambisi, menikam, persekongkolan dan parahnya untuk menikmati kursi kekuasaan bukan melayani rakyat. Hasilnya, citra politik menjadi buram dan berdebu. Kita lupa bahwa kotoran tersebut bukan berasal dari politik, tetapi dari tangan manusia yang memegangnya tanpa etik, tanpa tanggung jawab, dan tanpa kesadaran moral. Politik bagaikan air yang sejatinya jernih; manusialah yang kadang mengaduk lumpur di dasar sungai sampai seluruh permukaan terlihat kelam.

Di sinilah kita perlu melihat politik bukan semata sebagai teknik kekuasaan, tetapi sebagai ruang etis yang memerlukan jiwa bersih untuk memegangnya. Dalam perspektif kontemporer, Michael Sandel dalam Justice: What’s the Right Thing to Do? menegaskan bahwa politik adalah arena moralitas publik. Keputusan politik bukan sekadar prosedur, tetapi persoalan kebaikan bersama (the common good). Tidak ada ruang bagi kedangkalan moral karena setiap kebijakan menyentuh nyawa orang banyak: nasib petani, guru, nelayan, birokrat kecil dan anak-anak yang menunggu sekolah dibangun di desa terpencil.

Dengan demikian, politik bukan lembah gelap tempat para oportunis berkeliaran; politik adalah taman etika yang seharusnya dihuni oleh mereka yang menyadari beratnya tanggung jawab kekuasaan. Hanya saja, taman itu sering didatangi oleh mereka yang tidak mencintai tanaman, sehingga rumput liar tumbuh lebih cepat dari bunga.

Dalam realitas Indonesia hari ini, terutama di daerah-daerah yang kontestasi elektoralnya kian padat, politik diperlakukan seperti ladang untuk memanen keuntungan pribadi. Program publik dijadikan imbalan, jabatan dipandang sebagai fasilitas, dan suara rakyat dihitung seperti angka statistik dalam mesin transaksi. Padahal jika kita kembali pada pondasinya, politik adalah tindakan spiritual: sebuah komitmen untuk menjaga kehidupan bersama dari ketidakadilan, ketakutan dan kebodohan.

Dari sudut pandang sastra, politik ibarat lautan yang sebenarnya jernih. Ombak yang memutih di permukaannya muncul karena angin kepentingan yang terlalu kencang. Tetapi bila angin itu mereda, ketika para pemimpin memilih integritas daripada kelicikan, kita dapat melihat dasar laut yang tenang, tempat ikan-ikan kebaikan berenang dalam kesunyian.

Pandangan ini mengajak kita untuk percaya bahwa politik tetap memiliki inti yang suci. Ia suci karena menyangkut nyawa bersama. Ia suci karena menyentuh martabat manusia. Ia suci karena memutuskan masa depan generasi yang belum lahir. Kesucian bukan berarti steril dari perbedaan atau konflik; kesucian dalam politik adalah kesediaan untuk menjadikan kekuasaan sebagai pengabdian, bukan pemangsaan.

Namun agar politik kembali kepada jati dirinya yang bersih, kita membutuhkan tiga hal. Pertama, pemimpin yang memiliki akar moral, bukan akar patronase. Kedua, partisipasi warga yang rasional, bukan sekadar mengikuti garis kekerabatan, uang harian, atau tekanan sosial. Ketiga, institusi yang kuat, agar politik tidak berubah menjadi ladang bebas para pemburu rente.

Jika tiga hal ini berjalan, maka kita dapat mengatakan bahwa politik memang bersih dan suci, bukan sebagai metafora manis, tetapi sebagai kenyataan sosial. Politik suci bukan berarti tidak ada konflik; suci berarti bahwa konflik diselesaikan secara bermartabat. Politik bersih bukan berarti semua sepakat; bersih berarti bahwa perbedaan tidak dibeli dengan amplop atau loyalitas palsu.

Suatu hari nanti, mungkin ketika peradaban kita sedikit lebih jernih, kita akan melihat kembali bahwa politik bukan kandang hewan buas, melainkan ruang di mana manusia diuji: apakah ia memilih menjadi pengurus kehidupan, atau sekadar pemburu kesempatan. Bila ia memilih yang pertama, maka politik akan kembali pada wajah aslinya, wajah yang bersih, terhormat dan suci.

Disclamer : Karena itu, politik tidak pernah kotor. Kitalah yang sering menjadikannya demikian. (**)

ads
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *