“Kuda atau Elang di Gedung Putih” (Menelusuri Gaya Kepemimpinan Para Pemegang Kuasa)

Oleh: Arafik A Rahman

“Power is not about visibility, but the clarity of vision and the courage to respond.” Kekuasaan itu bukan soal tampak atau tidaknya seorang pemimpin tetapi soal kejernihan visi dan keberanian untuk merespon.— Dr. Elena Marquez, Vision and Responsibility in Public Leadership (2018)

Di dunia kepemimpinan, metafora sering menjadi jembatan antara kenyataan yang sulit dibahas secara terus terang dengan kearifan yang ingin disampaikan secara halus. Pertanyaan klasik yang terus bergema dalam diskusi-diskusi publik hari ini adalah: apakah pemimpin kita melihat realitas dengan kacamata kuda atau dengan kacamata elang?

Dari Bupati, Gubernur, hingga Presiden: semuanya diuji bukan hanya oleh janji kampanye yang mereka serukan dari panggung ke panggung, tetapi juga oleh cara dan gaya mereka memandang rakyat. Dalam tradisi akademik, persepsi pemimpin selalu menjadi faktor kunci yang mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Dr. Elena Marquez, seorang pemikir kepemimpinan publik dalam bukunya Vision and Responsibility in Public Leadership (Marquez, 2018), menjelaskan bahwa kualitas seorang pemimpin bertumpu pada dua kemampuan:

1. Visioning Ability: kemampuan melihat jauh dan memahami arah perubahan.

2. Responsive Governance: kemampuan merasakan denyut rakyat dan menjawabnya dengan kebijakan yang nyata.

Namun, dalam realitas sosial-politik Indonesia, kedua teori itu sering kali terhenti di seminar, sementara praktik kepemimpinan justru berjalan dengan logika yang lebih sederhana: siapa yang memakai kacamata kuda dan siapa yang memakai kacamata elang. Setiap daerah punya Gedung Putih-nya sendiri; kantor bupati, kantor gubernur, kantor pemerintahan yang menjadi simbol mandat rakyat. Gedung itu terlihat elegan dan mewah, tempat rakyat berharap, resah dan menagih harapan.

Namun pertanyaan yang paling penting justru sering kita lupa tanyakan: siapa yang benar-benar duduk di sana?. Seorang kuda atau seekor elang?. Kuda yang hanya melihat lurus dan tergesa atau elang yang membaca lanskap secara luas dan tepat sasaran. Pemimpin berkacamata kuda berlari cepat, tetapi hanya pada jalan yang ia mau. Ia menyingkirkan kritik, menolak pandangan lain dan menutup telinga dari suara rakyat.

Program-program infrastruktur dibangun tapi perut rakyat dan janjinya diabaikan. Birokrasinya dijalankan dengan tegas, tetapi lucunya, dirinya sendiri jarang berada di kantor. Ruang kerjanya seperti tempat asing; kedisiplinan menjadi hukum hanya untuk bawahan. Ketika kritik publik muncul, ia diam. Bukan diam yang bijak, tetapi diam yang menolak mendengar. Ketika rakyat menanyakan janji kampanye soal jalan, listrik desa, bantuan sosial, hingga pendidikan, jawabannya standar: “sedang proses”. Proses tanpa peta, tanpa waktu, tanpa laporan.

Dan ketika ia keluar daerah, intensitasnya jauh lebih sering dibanding kehadirannya di kecamatan dan desa-desa yang dulu ia kunjungi saat masa kampanye. Kata “keluar daerah” menjadi istilah birokrat yang sering dipakai untuk menutupi absennya ia dari realitas lokal. Inilah ciri khas kacamata kuda: melihat dunia hanya melalui lorong sempit kekuasaan, tanpa menoleh kiri-kanan tempat rakyat sesungguhnya berdiri.

Sementara pemimpin berkacamata elang memiliki pandangan luas. Ia tidak hanya melihat jauh ke depan, tetapi membaca pola, risiko dan peluang. Ia bukan hanya memantau dari ketinggian, tetapi juga menukik turun menyentuh tanah, menyapa masyarakat, memahami ulang persoalan, dan memperbaiki kekeliruan. Ia tidak bersembunyi dari kritik. Ketika rakyat bertanya, ia menjawab.

Ketika janji belum terpenuhi, ia menjelaskan alasannya. Ketika kebijakan kurang tepat, ia berani meralat. Di sinilah teori responsive governance menemukan bentuk nyatanya pemimpin yang mau hadir, bukan hanya hadir di baliho. Pemimpin seperti ini tidak sempurna, tetapi rakyat dapat merasakan kehadirannya. Dan memang, dalam banyak daerah, pemimpin seperti elang jauh lebih langka daripada kuda. Sebab menjadi elang membutuhkan keberanian untuk melihat realitas secara menyeluruh; bukan hanya garis lurus kekuasaan.

Jadi, metafora kuda dan elang bukan sekadar permainan bahasa. Ia adalah alat untuk mengukur kedalaman kepemimpinan yang mengatur hidup kita sehari-hari. Sebuah daerah tidak mungkin terbang tinggi jika dipimpin oleh mereka yang hanya melihat lurus tanpa membaca kiri-kanan. Rakyat selalu berhak menuntut kehadiran pemimpin yang melihat luas, berpikir jauh, dan menanggapi cepat.

Karena, sejarah selalu mencatat dengan sederhana: siapa yang membuat rakyatnya terbang dan siapa yang membiarkan rakyatnya terkapar di lorong gelap penuh debu. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *