ads
ads
ads

“Manusia, Sungai, dan Tambang: Sebuah Refleksi Ekologis dan Sosial”

Oleh ;

Arafik A Rahman 

SUNGAI adalah nadi kehidupan. Di sepanjang alirannya, peradaban tumbuh dan budaya berkembang,”kata  Prof. Emil Salim, Ekonom dan tokoh Lingkungan Indonesia.

Manusia, Sungai dan Tambang merupakan tiga anasir yang saling berinteraksi dan memiliki multiplayer efek terhadap kehidupan serta lingkungan. Dengan demikian yang kita butuhkan adalah harmonisasi bukan hilirisasi yang gila-gilaan. Asal ada duitnya meski sungai dan manusia terabaikan. Lho mikir lingkungan atau duitnya? Duit-lah. Jawab si pemilik saham. Kira-kira begitu pikirannya para kartel atau korporasi.

Sepanjang sejarah peradaban, sungai telah menjadi saksi bisu sekaligus sumber kehidupan bagi umat manusia. Sungai Nil misalnya, yang menjadi elemen penting dan harmoni dalam keberlangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan sebelum revolusi industri di Eropa. Bahkan sebelum negara terbentuk: sebelum APBD dan APBN diperbincangkan sebagai sumber pendapatan dan penghidupan masyarakat dalam sebuah negara.

Tetapi, dalam beberapa dekade terakhir ini, hubungan yang dulunya harmonis antara manusia dan sungai semakin terancam dan kacau akibat ekspansi industri ekstraktif- pertambangan yang kian mengoda para penguasa dan pemodal. Fenomena ini tidak hanya mengubah lanskap alam, tetapi juga mengguncang tatanan sosial dan budaya masyarakat yang bergantung pada keberlanjutan ekosistem sungai.

Sungai itu vital bagi keberlangsungan orang-orang yang hidup di pedesaan. Banyak dari mereka yang bergantung pada sungai untuk pemenuhan kebutuhan; untuk air bersih, irigasi pertanian, dan sebagai media transportasi. Selain itu, ada keragaman hayati, disana yang berkontribusi terhadap ekosistem. Dari perspektif budaya, sungai dapat dianggap sakral dan menjadi tempat ritual serta pemandian seperti sungai Gangga di India dan sungai Kuning di China. Baca buku yang berjudul “River of Life, River of Death: The Ganges and India’s Future”, (Victor Mallet).

Namun, derasnya pertambangan yang dilakukan oleh negara tanpa mempertimbangkan keharmonisan ekologis dan sosial, menyebabkan kerusakan yang fundamen: erosi, banjir dan mengancam harapan hidup mereka yang berada di arena eksploitasi. Coba sesekali para korporasi itu, menonton kisah tentang seorang bocah “Krisna” yang mencintai alam di kota Vrindavan. Anak kecil tapi pikiran dan cintanya terhadap alam, sungai dan hewan luar biasa.

Disisi lain, tambang merupakan sumber daya pendapatan negara yang cukup melangit, apalagi bagi negara yang sedang berkembang. Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dan menciptakan lapangan kerja.Tetapi sayangnya eksploitasi tambang nyaris dilakukan tanpa nurani terhadap lingkungan dan hak kepemilikan tanah warga sekitar.

Hilangnya harmoni antar manusia, sungai dan lingkungan. Menunjukkan bahwa betapa kejamnya korporasi dan penguasa yang hanya mementingkan uang, uang dan uang. Surat ijin dari satu jemari mengancam sungai dan manusia yang tak berdosa. Lapangan kerja menjadi iklan yang seakan menghipnotis kaum intelektual, memaksa untuk menjadi bagian pembela keserakahan.

Para peneliti lingkungan memanjang kebenaran di dinding-dinding plafon media sosial, ribuan aktivis turun ke jalan dan para petani bersuara namun dianggap pembangkang dan penghambat program strategis. Lucu tapi begitulah faktanya. Padahal hubungan antara manusia, sungai, dan tambang mencerminkan dinamika antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Eksploitasi sumber daya alam harus diimbangi dengan tanggung jawab ekologis dan sosial. Pentingnya pengawasan ketat terhadap izin tambang dan penerapan teknologi ramah lingkungan menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan ekosistem sungai dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut John Muir seorang ahli lingkungan dan pelopor konservasi Alam: Bahwa alam bukan hanya sumber daya untuk dieksploitasi, tetapi tempat suci yang memiliki nilai intrinsik dan spiritual.”

Muir menekankan bahwa alam memiliki nilai sendiri, bukan hanya untuk dimanfaatkan manusia. Untuk itu, kita perlu merenungkan kembali hubungan kita dengan alam. Sungai yang tercemar dan tambang yang merusak bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga masa depan kita bersama.

Sungai tak pernah bersuara, tanah tak pernah bercerita tentang sakitnya eksploitasi, kejamnya hilirisasi tetapi suatu saat nanti mereka akan bencana akan datang sebagai jawaban. Karena itu, tak ada pilihan lain selain hentikan hilirisasi; menjaga sungai adalah bentuk konkrit dari upaya menjaga negara.

Mencintai sungai seperti kita mencintai hidup, karena darinya kita hidup mengalir. Jagalah sungai, maka kehidupan akan menjagamu. Sungai yang bersih adalah cermin hati bangsa yang peduli.! (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *