
“Belajar Untuk Berpikir Bukan Bekerja”
oleh ;
Bung Opickh (Penulis Buku)
PARADIGMA, tentang belajar masih ambigu dipikiran kita akhir-akhir ini. Mayoritas orang berasumsi bahwa belajar (sekolah), itu untuk bekerja. Sementara masih sedikit dari kita yang memahami belajar untuk berpikir; dari primitif ke rasional, dari doktrinisasi ke kritis, dari dogmatis ke ilmiah, dari kebiadaban ke adab dan peradaban.
Tentunya mereka yang menganggap belajar untuk bekerja, meskipun bersekolah tinggi sampai universitas akan berakhir di kursi pekerjaan yang monoton dan terjerumus dalam rutinitas semata. Kata Buya Hamka “Kalau hidup hanya bekerja, Kerbau di ladang bisa bekerja”. Mereka yang memandang belajar sebagai proses berpikir akan menjadi manusia yang rasional, ilmuwan, produktif, baik dan bijak serta cenderung membuka lapangan kerja bukan mencari kerja. Kata Carl gustav Jung, “Berpikir itu sulit, karenanya banyak orang tak mau berpikir”.
Kemudian menjadi ahli, menjadi pemimpin, melahirkan karya dan akan tiba pada titik dimana kebaikan dan kebijaksanaan adalah prioritas. Dengan begitu, kita akan menemukan titik temu persoalan yang dihadapi pendidikan kita dewasa ini. Bahwa ada sistem, proses dan tujuan dari pendidikan mestinya direduksi kembali agar tak sekadar melahirkan pekerja tetapi cenderung melahirkan ilmuwan, politisi yang baik, filsuf dan masyarakat yang literatur.
Coba kita belajar dari beberapa negara yang maju pendidikannya : Kanada, Jepang, Swiss, Finlandia, inggris, Luxembourg, China , Rusia dan lainnya. Yang merupakan negara-negara pencetak ilmuwan, teknologi, investor dan menjadi negara produsen dalam industri internasional. Sementara Indonesia selalu ada masih saja menjadi negara konsumtif. Semenjak Bangsa ini merdeka kita hanya gemar meminta bantuan sosial, politik uang dan bertikai sana-sini. Hentikan semua itu, percuma bersekolah kalau pada akhirnya hanya memfitnah kiri-kanan.
Negara yang lemah pendidikannya sering terjadi radikalisme, apatisme, separatisme dan menjadi markas para perampok. Kata Nelson Mandela “perampok tak pernah membangun negara, mereka hanya memperkaya diri dan merusak negara”. Negara yang pendidikannya baik maka rakyatnya kritis, rasional, tertib dan taat hukum. Konflik tak akan mudah terjadi, tak ada pemerkosaan, tak saling fitnah, tak sibuk baku tikam dan tidak pendendam karena adanya kesadaran publik yang kuat.
Satu orang yang terdidik akan mendelegasikan negara yang terdidik. Sebaliknya satu orang yang menjadi perampok akan mendelegasikan negara perampok. Masa sih? Iya. Misalnya pemimpin yang terpilih dari cara-cara merampok, kelak dia akan merampok, begitu sebaliknya, terpilih dari cara yang baik kelak dia akan baik dan bijak dalam memimpin.
Dalam filsafat pendidikan, Aristoteles menekankan pada pengetahuan dan etika, bahwa “mendidik pikiran tanpa mendidik hati, itu bukan pendidikan sama sekali”. Toletes percaya bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan “Eudaemonia”. Oleh sebab itu, generasi yang didik sekadar mendapatkan pekerjaan akan berimplikasi mewujudkan orang-orang yang cerdas tapi tak peka sosial.
Meskipun memiliki pekerjaan dan menjadi kaya tapi acuh terhadap lingkungan, sombong dan menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Inilah substansi dari problematika kehidupan yang kita hadapi saat ini. Bangsa ini memiliki banyak orang cerdas tapi sedikit orang yang patriotik, nasionalis, baik dan bijaksana. Banyak dari kita hanya mau mendapatkan pekerjaan padahal abai terhadap proses berpikir yang rasional dan survive dalam kebaikan, “animal survive” kata Charles Darwin dalam bukunya ‘The Original of Species”.
Jadi melalui momentum peringatan hari pendidikan Nasional 02 Mei 2015, dengan tema yang diusung, “Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, yang hermeneutikanya adalah
Pentingnya kolaborasi semua pihak dalam mewujudkan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bahwa pendidikan bukanlah tanggung jawab seseorang, satu kelompok atau satu instansi tetapi adalah tanggung secara totalitas.
Sementara di saat yang bersamaan, pemerintah cenderung lebih fokus pada infrastruktur dan hilirisasi pertambangan. Dengan kebijakan anggaran yang amat besar dan konsentrasi yang luar biasa di sektor tersebut, lalu mengabaikan aspek pendidikan itu sendiri. Apa buktinya? Lihat saja proyek infrastruktur yang bergerak begitu cepat dan tambang yang tumbuh menjamur disana-sini.
Namun, terlepas dari itu banyak sekolah di daerah terluar yang terabaikan; di Kalimantan Utara berbatasan dengan Malaysia misalnya, di Papua pegunungan banyak kekurangan guru dan bangunan sekolah dan di Maluku Utara juga masih banyak kekurangan disana-sini. Belum lagi soal kenakalan siswa, asusila, guru-guru yang berteriak tentang kesejahteraan mereka dan pengaruh teknologi yang tak sesuai porsinya: anak-anak sibuk dengan tiktok, pornografi dan nekat beraksi.
Ini potret buram pendidikan kita dewasa ini. Lalu apa pentingnya memperingati hari pendidikan Nasional? Ia tak boleh dijadikan sebagai sekadar agenda seremonial yang berakhir bagaikan drama Korea. Ia tak boleh sekadar bernostalgia tetapi jadikanlah hari pendidikan Nasional sebagai intropeksi proses pendidikan kita. Tataplah wajah para guru yang diam-diam berkorban untuk pendidikan tanpa gaji dan harapan menjadi ASN.
Lihatlah betapa borosnya infrastruktur kita yang dibangun megah namun setahun sudah rusak, jalan yang dibangun ratusan miliar hanya bertahan sehari lalu rusak lagi. Tengoklah setiap layar televisi dan tagline berita yang selalu saja mengabarkan kasus asusila, perampokan dan pembunuhan. Ini adalah deretan fakta dan pekerjaan berat kita untuk menata kembali pendidikan di bangsa Indonesia.
Pesan saya, mari bercermin apakah kita sudah menggambarkan generasi terbaik atau malah terpuruk? Apakah kita sudah memahami pesan Ki. Hajar Dewantara? Apakah kita sudah memajukan literasi? Tentu ini menjadi pertanyaan yang membutuhkan kejujuran untuk menjelaskan fakta. Mari membaca dan terus belajar.! Long life education. Sebab bangsa yang besar dan hebat adalah bangsa yang gemar membaca dan belajar. (**)
“Selamat hari pendidikan nasional, 02 Mei 1959-2025” dan selamat hari lahir Ki Hajar Dewantara, 02 Mei 1889.