
“Dalam Diam Mereka Bekerja”
Oleh:
Zulfikar K Akbar (Politisi Muda Partai Golkar)
HARI BURUH, selalu datang dengan ingatan yang nyaring tentang perjuangan, pengorbanan, dan harapan. Tapi di luar keramaian unjuk rasa dan gemuruh suara di jalanan, Hari Buruh juga seharusnya mengajak kita merenung dalam diam tentang mereka yang setiap hari bekerja tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan, tapi dengan ketekunan yang luar biasa.
Buruh hadir di sekeliling kita, bahkan saat kita tidak menyadarinya. Mereka adalah petugas kebersihan yang menyapu jalan sebelum matahari terbit. Sopir yang membawa kita pulang larut malam. Pegawai toko, buruh pabrik, kurir daring, pekerja konstruksi semua bagian dari denyut kehidupan yang membuat kota tetap hidup, ekonomi tetap bergerak, dan rutinitas kita tetap berjalan.
Namun, justru mereka yang paling jarang kita sebut dalam percakapan-percakapan penting tentang arah bangsa. Di ruang-ruang kebijakan, kepentingan buruh sering kali datang belakangan. Mereka yang menggerakkan sistem justru kerap ditempatkan di lapisan bawah sistem itu sendiri.
Banyak dari mereka hidup dalam ketidakpastian kerja, penghasilan yang pas-pasan, dan tanpa perlindungan jangka panjang. Di saat negara dan perusahaan berpacu mengejar efisiensi dan pertumbuhan, nasib buruh kadang dianggap variabel yang bisa ditekan. Padahal, tanpa mereka, semua “pertumbuhan” itu hanya statistik kosong.
Hari Buruh harus lebih dari sekadar seremoni. Ia perlu menjadi pengingat kolektif bahwa kerja bukan hanya soal produktivitas, tapi soal kemanusiaan. Bahwa para pekerja bukan hanya “sumber daya,” tetapi manusia dengan martabat dan harapan. Dan bahwa demokrasi sejati tak hanya bicara soal suara dalam pemilu, tapi juga siapa yang didengar dalam keseharian kebijakan.
Kita tidak akan bisa membangun bangsa yang kuat, jika mereka yang membangunnya terus berada dalam posisi rapuh. Maka Hari Buruh adalah ajakan: untuk melihat lebih dalam, mendengar lebih jujur, dan bergerak lebih adil. Karena bangsa ini berdiri di atas kerja dan para pekerja itu adalah fondasi yang tak boleh diabaikan.
Hari Buruh bukan hanya peristiwa nasional. Ia juga hidup dalam denyut kerja masyarakat di pelosok negeri, termasuk di Maluku Utara. Di provinsi yang kaya akan sumber daya alam ini, buruh hadir dalam berbagai wajah : dari para nelayan yang menggantungkan hidup pada laut, petani pala dan cengkeh yang menjaga tradisi agraria, hingga para pekerja tambang di Halmahera yang bekerja di bawah tekanan industri ekstraktif.
Buruh di Maluku Utara bekerja dalam lanskap yang khas di antara potensi kekayaan alam yang besar dan ketimpangan pembangunan yang masih terasa. Mereka seringkali berada di tengah tarik-menarik antara investasi besar dan perlindungan terhadap hak-hak dasar. Banyak dari mereka bekerja dalam sistem kerja kontrak, outsourcing, bahkan informal, dengan jaminan kerja yang lemah dan perlindungan hukum yang minim.
Pekerja tambang, misalnya, berkontribusi besar terhadap ekonomi daerah, namun banyak yang masih menghadapi persoalan upah, keselamatan kerja, dan akses terhadap layanan kesehatan. Sementara di sektor pertanian dan perikanan, para buruh kerap terpinggirkan dari kebijakan pembangunan karena dianggap bukan bagian dari “industri formal”.
Refleksi Hari Buruh di Maluku Utara adalah refleksi atas wajah Indonesia yang belum sepenuhnya adil bagi para pekerja. Ia adalah pengingat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh dibayar dengan mengorbankan martabat dan hak hidup layak. Ia juga menjadi pertanyaan terbuka kepada pemerintah daerah dan pusat: sudahkah regulasi dan program pembangunan benar-benar berpihak pada buruh di wilayah timur Indonesia?.
Kita tidak bisa bicara soal kemajuan nasional jika buruh-buruh di luar Jawa termasuk di Maluku Utara, terus hidup dalam ketimpangan akses, kesempatan, dan perlindungan. Hari Buruh harus menjadi momen untuk menyatukan perspektif pembangunan yang lebih inklusif, yang mendengar suara dari pinggiran dan memberi ruang bagi pekerja di seluruh penjuru tanah air untuk hidup dengan lebih bermartabat.
Karena keadilan sosial tidak mengenal batas provinsi. Dan demokrasi yang sejati hanya akan tumbuh ketika seluruh rakyat, dari pusat hingga pulau-pulau terluar, merasakan bahwa mereka adalah bagian yang penting dari bangsa ini. (**)