
Di Antara Suara dan Sunyi : “Jejak Politik Iskandar Idrus”
Oleh ; Arafik A Rahman (Penulis Buku)
“Tujuan utama kekuasaan bukan untuk menguasai manusia, tetapi untuk menegakkan keadilan dan melayani umat,” (Imam Al-Ghazali).
SETIAP, zaman menyiapkan anak-anak muda terbaiknya. Namun, hanya sedikit yang memilih untuk tak sekadar menjadi penonton sejarah, melainkan menjadi pelaku yang menulisnya dengan peluh dan nyali. Salah satu dari mereka lahir dari bumi kecil yang jauh dari hingar-bingar kekuasaan sebuah kampung di bawah kaki gunung Gamkonora yang bernama Gamsungi, di Kecamatan Ibu, Halmahera Barat.
Ia tidak lahir di gedung megah atau rumah mewah, melainkan dari sebuah keluarga sederhana yang kaya akan nilai dan semangat. Tahun 1985, Iskandar Idrus membuka mata untuk pertama kalinya. Ia adalah putra bungsu dari pasangan yang berlatar belakang pengajar atau guru SD Yakni alm. H. Idrus dan alm Hj. Nur bakari.
Dari ayahnya ia belajar keikhlasan, dari ibunya ia belajar keteguhan hati. Sejak kecil, Iskandar sudah terbiasa mandiri karena tidak lagi tinggal bersama kedua orang tua karena harus melanjutkan studi SMP di Ibu Kota kecamtan Ibu. Yakni di desa Tongute Ternate yang jaraknya kurang lebih 10 KM dari desa tempat tugas orang tuanya. bersama kakaknya ia menempuh pendidikan SMP-nya, setelah 1 tahun di smp ibu, kakaknya sudah menyelesaikan studinya sehingga harus melanjutkan ke ternate dan ia pun harus pindah ke ternate.
Di ternate ia melanjutkan studinya di MTs Negeri Kota Ternate sampai selesai. Sebagai anak desa yang punya ekspektasi tinggi, ia pun ingin melanjutkan studinya ke sekolah yang dianggap favorit yakni SMA Negeri 1, namun ia tidak bisa menyelesaikan studinya di SMA 1 Karena jarak antara rumah (kel. Sangaji) dengan sekolah agak jauh sehingga terkendala pada biaya transportasi, atas situasi itu sehingga begitu naik kelas dua ia putuskan untuk pindah ke SMA Negri 4 yang jaraknya samagat dekat dengan tempat tinggalnya, ia pun menyelesaikan studinya SMA Negeri 4 Kota Ternate.
Di ruang kelas yang sederhana, ia menyerap bukan hanya ilmu, tapi juga ketimpangan sosial yang terus menggugah hatinya. Ia ingin peta pembangunan tak hanya berpihak pada kota-kota besar. Pucuk-pucuk cita mulai tumbuh saat ia melanjutkan studi ke Universitas Bosowa 45 Makassar, jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi). Di kota itu, ia tidak sekadar belajar teori tata ruang, tapi justru menata dirinya sendiri sebagai kader perubahan.
Ia merasakan denyut masyarakat urban, tekanan ekonomi mahasiswa, dan ketidakadilan yang menyelinap di balik proyek-proyek pembangunan. Yuval Noah Harari pernah berkata, “To change the world you must first understand it.” Dan itulah yang Iskandar lakukan. Ia tak hanya memahami, ia meresapi dan ikut ambil bagian. Ia turun ke jalan, dalam catatan ternyata ia ikut dalam barisan demonstrasi memperingati Hari Anti Korupsi Dunia tahun 2009, dan tampil di media TV nasional di wawancarai sebagai salah satu tokoh gerakan mahasiswa saat itu.
Ketika ribuan mahasiswa memadati jalan-jalan Makassar, Iskandar ikut berseru, bukan demi dirinya, tapi demi masa depan yang lebih bersih dari kerak-kerak kekuasaan yang busuk. Bakat kepemimpinannya makin menonjol.
Sehingga, ia pun dipercaya menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Planologi se-Indonesia. Di luar kampus, ia mengasah karakter dan integritas di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dari Komisariat, Korkom, hingga menjabat Wakil Bendahara Umum PB HMI. Ia juga memimpin PB HIPMMU se-Indonesia periode 2010–2012, organisasi besar pelajar dan mahasiswa Maluku Utara.
Tahun-tahun itu penuh tempaan. Tapi dari sanalah ia belajar bahwa kekuatan tidak tumbuh dari kenyamanan, tapi dari keberanian mengambil risiko. Ia juga aktif di bidang olahraga, menjabat Wakil Ketua Umum KONI Maluku Utara tahun 2016, dan Ketua Pengprov Federasi Panjat Tebing Indonesia–Malut pada 2018.
Kemudian langkahnya masuk ke arena yang lebih kompleks: politik. Pada usia 27 tahun, ia maju sebagai Calon Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara dan terpilih dari Dapil Ternate-Halbar. Dua periode berturut-turut (2014–2019 dan 2019–2024), dan itulah ia membuktikan bahwa usia muda bukan penghalang untuk mengabdi. Dan bahkan dia dipercaya menjadi Ketua Fraksi PAN dan menjadi Ketua DPW PAN Maluku Utara pada Muswil tahun 2021.
Kemudian Iskandar mundur dari jabatan ketua DPW PAN malut karena berbeda sikap dengan DPP PAN dan berujung di PAW Dari anggota DPRD PROV, sempat ia melakukan perlawanan dengan menggugat ke pengadilan dan memenangkannya namun kemudian kalah di putusan kasasi MAHKAMAH AGUNG. Keputusan mundur dari ketua DPW PAN malut cukup mencengangkan publik maluku utara dan menghiasi halaman depan media-media mainstream di maluku utara.
Bahkan media nasional, karena ia dianggap anak muda yang sukses memimpin partai bahkan menjadi trendsetter bagi politisi muda maluku utara. Ia menunjukan sikap kesatria dengan resiko yang begitu tinggi yakni di pecat dari anggota DPRD Provinsi namun dari sikap itu mencerminkan integritas dan komitmen dari dirinya.
Di sebuah kutipan media, ketika ia ditanya oleh wartawan terkait pemecatannya, dengan santai ia menjawab bahwa kekuasaan itu diberi oleh Allah dan juga akan dicabut oleh Allah jika sudah dikehendakiNya.
Sebuah jawaban yang mencerminkan kedalaman spiritual dari dirinya. Badai besar yang baru saja dilewati tidak menghentikan langkah kakinya, cita cita dan semangat juang yang tinggi mendorong iskandar untuk melanjutkan perjuangannya atau memperluas ruang pengabdiannya dengan mencalonkan diri sebagai bupati halmahera barat. Hal ini dilakukan karena merasa terbatas fungsi sebagai legislator dalam memperjuangkan perubahan konkret.
Pilkada Halmahera Barat 2024 menjadi bukti kemampuan iskandar dalam berkomunikasi dan membangun jejaring politiknya di jakarta, ia berhasil mengambil dukungan sebagai syarat pencalonan kepala daerah dari partai besar seperti golkar dan PSI yang diketuai oleh anak presiden jokowi, dan lebih mengejutkan lagi adalah ia juga didukung oleh PAN Yang notabene pernah memecatnya, sebuah akrobatik politik yang cukup mencengangkan banyak orang.
Setiap proses politik ia pahami sebagai medan jihad pengabdian. Ia tidak menari dalam hingar politik, melainkan menyentuh rakyat lewat silaturahmi dan kerja konkret. Ia tak mengumbar janji, tapi menjabarkan rekam jejak sebuah legacy dan menawarkan masa depan sebagai sebuah harapan dan cita cita politik.
Prof. Rhenald Kasali mengingatkan kita, “Mereka yang punya rekam jejak tak butuh teriak-teriak, karena kakinya sudah lebih dulu berjalan.” Namun jalan hidup tak selalu seperti yang direncanakan. Pilkada 2024 belum menjadi miliknya, namun ia telah mengisi pesta demokrasi dengan menjadi salah satu kontestan yang dikenal memiliki berbagai gagasan dan visi besar.
Iskandar membawa satu pesan dari warisan revolusi abad pencerahan: Dalam bahasa Latin “Sapere aude!”. “Beranilah menggunakan akal pikiranmu sendiri! ” Immanuel Kant. Itulah Frasa yang menjadi api dalam revolusi Prancis 1784. Iskandar Idrus adalah sosok anak muda yang berani berpikir dan mengambil sikap.
Dalam politik, kekalahan bukan akhir dari segalanya, ia tetap memilih untuk melayani. Tetap menyala. Tetap percaya bahwa harapan tidak boleh padam hanya karena sekali kalah. Ia tahu bahwa Halmahera Barat masih membutuhkan energi anak muda. Ia tahu bahwa Maluku Utara masih menanti mereka yang tidak gentar ketika jalan sunyi terbentang.
Biografi ini bukan catatan kemenangan, tapi kisah ketangguhan. Tentang seorang anak desa yang menolak menjadi penonton. Tentang Iskandar Idrus yang tak membiarkan kekuasaan meracuni nuraninya, dan memilih menjadikan politik sebagai ladang ibadah dan pengabdian.
Dan jika hari ini engkau merasa lelah, merasa tak dihitung, merasa kalah, dengarlah bisikannya: “Anak muda tak boleh kendur. Sebab ketika semangat kita luruh, harapan banyak orang ikut tumbang. Jangan biarkan itu terjadi. Kita belum selesai. Belum!”. (**)