ads

Idul Adha: “Logika dan Religiusitas Islam”

Oleh ;

Arafik A Rahman (Penulis Buku)

Ketika langit yang mulai membiru, ia datang bersama mentari membisik bumi tuk bangunkan manusia. Di pagi yang cerah itu, sekitar pukul 07.30 WIT, setiap masjid dan pelataran yang luas di penuhi umat muslim untuk menunaikan ibadah Idul Adha. Datang dengan keikhlasan dan keteguhan iman, tidak ada diferensial dan parsialisasi disana.

Pejabat, pengusaha, si kaya atau miskin, kulit hitam atau putih, tinggi atau pendek, rambut keriting atau lurus, cantik-ganteng atau tidak; semuanya sama di hadapan Allah SWT. Tak ada orang yang lebih hebat yang harus duduk di saf paling depan, yang paling belakang bukan berarti dia miskin atau lemah tetapi di setiap posisi sama nilainya. Yang membedakannya adalah keimanan dan kekhusyuan dalam sholat.

Inilah pemandangan dengan penerapan norma keislaman yang amat dan sangat menakjubkan. Anda tak akan menemukan penerapan sistem seperti ini, sekalipun dalam demokrasi dan sosialisme. Itulah kenapa Islam adalah agama yang paling indah dan istimewa. Sebab sedari awal Islam telah menerapkan konsep kesetaraan, persaudaraan dan kebebasan manusia tanpa perbudakan.

Jauh sebelum orang-orang Eropa menyadarinya tentang “Égalité, Fraternité dan liberte” yaitu Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan di Prancis abad ke 18. Lalu apa makna dari hari raya Idhul Adha dalam logika dan religiusitas Islam?. Secara Religiusitas makna Idul Adha adalah sebuah contoh keteladanan yang spektakuler tentang ketundukan dan kepatuhan mutlak manusia kepada Tuhannya (Allah SWT).

Di kisahkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bagaimana nabi Ibrahim siap menjalankan perintah Tuhannya; apapun bentuknya, apalagi menyembelih anaknya Ismail tanpa ragu atau membantah. Cerita diatas melebihi perintah seorang komandan militer kepada pasukannya yang mungkin hanya sebatas pergi ke hutan belantara, ke jurang terjal atau ke lembah dan kuala yang ada buaya-nya untuk berperang.

Dalam perspektif logika, cerita tentang nabi Ibrahim dan Ismail butuh sebuah dialog yang komprehensif. Artinya, kenapa nabi Ibrahim tidak mengusulkan menyembelih hewan sejak awal, sebelum perintah dilaksanakan? Ataukah mengapa Ibrahim tak membantah bahwa itu putranya semata wayang yang sangat ia cintai. Meskipun kemudian Allah SWT menggantinya dengan seekor Domba.

Logika memandang Ibrahim tak kritis dan rasional dalam menjalankan tugasnya sebagai Nabi. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi Nabi?. Apakah karena itu, ia dianggap tak berkompeten sehingga Allah SWT menurunkan nabi-nabi berikutnya sampai Nabi Muhammad Saw sebagai penutup karena ia dianggap sempurna?. Bisa jadi begitu kalau kita jawab secara logika yang dangkal.

Teman-teman hemat saya, pengorbanan nabi Ibrahim as bukan karena beliau tidak rasional atau logis dalam berpikir. Tetapi semua itu adalah bentuk ajakan nabi Ibrahim dan Ismail kepada orang-orang yang berpikir untuk memahami lebih jauh tentang kecerdasan Religiusitas dan logika. Ia memberi kita pelajaran yang sangat berharga tentang kepatuhan dan tawakal adalah upaya menundukkan logika dari iman. Ibrahim mencoba mengajak logika bersujud dan berserah diri di hadapan Religiusitas (Allah SWT), logika harus memiliki batasan terhadap ketauhidan dan ketakwaan.

Nabi Ibrahim as, menggambarkan sebuah tindakan yang transendental menembus gunung, langit dan daya jangkauan pikiran manusia. Ia paham bahwa perintah itu sangatlah berat namun begitulah sebuah kebahagiaan hakiki mesti mengorbankan sesuatu yang sangat berharga dalam memperolehnya. Ibrahim meninggalkan pelajaran terhadap manusia yang serakah, sombong dan merasa paling berkuasa untuk berserah diri kepada Allah SWT.

Termaktub dalam Al Qur’an, surat Al-Hajj Ayat 34

“Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdiri-lah kamu kepada-Nya”.

Agar semua yang kita miliki adalah fana. Bahwa semua yang kita ketahui tentang ilmu pengetahuan, lalu merasa paling benar dan pintar padahal itu bagaikan setetes embun di tengah-tengah Samudra yang luas (Imam Al Gazali). Sekali lagi, logika bukanlah pikiran yang paling tinggi dan berkuasa tetapi ada yang menciptakannya yaitu Tuhan (Allah SWT). Logika mestinya rukuh, bersujud dan munajat kepada Allah SWT.

Logika tak akan pernah menang atau lebih tinggi dari iman dan Religiusitas. Sebab orang yang religius pasti bertemu dengan yang namanya berpikir (iqra) tetapi orang yang cerdas belum tentu beriman kepada Allah SWT. Seperti kaum ateis atau liberalisme yang tak bertuhan. Atau seperti hikayat penolakan iblis untuk menghormati-bersujud kepala manusia.

Iblis membentak karena merasa paling suci, untuk apa aku bersujud kepada manusia bukankah ia hanya diciptakan dari tanah? Sementara aku dari api (QS. Al A’raf: 12). Bahwa agama tak selalu bisa ditimbang dengan nalar manusia tetapi ada yang mengharuskan ia tunduk kepada cahaya dan bisikan kebenaran dari langit. Jadi kisah dan hikmah dari hari raya Idul Adha adalah sebuah contoh keteladanan manusia dan sujudnya logika kepada Allah SWT.

“Selamat hari raya Idul Adha 1446 Hijriyah/2025 Masehi” untuk semua saudara, kerabat dan keluarga. Semoga kita semua selalu istiqomah dalam iman dan Islam. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *