ads
ads
ads

“Mewarisi Api Emansipasi, Menyalakan Cahaya Perubahan”

Oleh ;

Zulfikar Kusuma Akbar, S.H (Politisi Muda Partai Golkar)

MEMPERINGATI, Hari Kartini, sebuah momen penting dalam sejarah perjuangan perempuan Indonesia. Namun lebih dari sekadar seremoni tahunan, Hari Kartini merupakan pengingat bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan masih terus berlangsung. Raden Ajeng Kartini bukan hanya simbol emansipasi, melainkan juga pemikir yang melampaui zamannya.

Dalam kumpulan surat-suratnya yang dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Balai Pustaka, 1922), Kartini menulis kepada sahabatnya, Abendanon, “Apakah gerangan arti pendidikan itu bagi seorang wanita, bila ia tidak diberi kebebasan berpikir dan bertindak?” Kalimat ini bukan sekadar keluhan, tetapi cerminan kesadaran kritis yang dalam tentang ketimpangan struktural dalam masyarakat kolonial—sebuah bentuk perlawanan dalam sunyi.

Pemikiran Kartini tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah bagian dari arus besar kebangkitan nasional dan kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan. Dalam konteks ini, gagasan Kartini beresonansi dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), di mana pendidikan dimaknai sebagai proses pembebasan, bukan penjinakan.

Kartini memahami bahwa perubahan sosial yang sejati tidak bisa terjadi tanpa keterlibatan aktif perempuan. Inilah yang kemudian menjadi warisan ideologisnya: perempuan bukan objek pembangunan, melainkan subjek perubahan. Bung Karno, dalam bukunya Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia (1963), menegaskan, “Kaum wanita adalah tiang negara. Kalau wanitanya baik, maka baiklah negara.”

Kini, lebih dari satu abad sejak kepergian Kartini, kita menyaksikan transformasi luar biasa dalam posisi perempuan di ruang publik. Namun, tantangan tetap ada ketimpangan akses terhadap pendidikan di daerah 3T, kekerasan berbasis gender, dan representasi yang belum seimbang dalam politik dan pengambilan keputusan.

Peringatan Hari Kartini harus menjadi ruang refleksi kolektif. Bukan hanya untuk mengenang Kartini sebagai tokoh sejarah, tetapi untuk melanjutkan perjuangannya dalam bentuk yang kontekstual. Seperti yang dikatakan oleh bell hooks, feminis dan pemikir asal Amerika Serikat, dalam bukunya Feminism is for Everybody (2000): “Feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation, and oppression.” Perjuangan Kartini adalah bagian dari gerakan universal melawan penindasan dalam segala bentuknya.

Hari Kartini adalah panggilan untuk berani berpikir, berani bersuara, dan berani bertindak. Seperti sinar pagi setelah malam yang gelap, semangat Kartini harus terus menerangi jalan kita menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *