
Pemilih Berdaulat
Oleh
Arafik A Rahman (Penulis Buku)
DEADLINE waktu menuju pesta demokrasi masih terbilang cukup lama, sekitar sembilan bulan lagi, baru akan dihelat. Namun gimik para kontestan pemilihan legislatif dan PILKADA sudah mulai dirasakan akhir-akhir ini. Juga terlihat desas-desus pengurusan dokumen Bacaleg sebagai persyaratan legal, sudah dimulai tahapannya. Entah itu di sekretariat partai politik dan atau di kantor komisi pemilihan umum setempat.
Di segmen lain, orang-orang yang mengatasnamakan tim pemenang pun mulai bergerilya di ruang-ruang publik. Anda bisa menyaksikan itu; di pasar, di lorong-lorong desa, di kedai-kedai kopi, di sudut-sudut kota, di warung-warung makan, di terminal, di pelabuhan laut, di persimpangan jalan dan sebagainya. Tentu saja, kesemuanya itu adalah hal yang wajar dalam etape demokratisasi menuju 2024 nanti.
Namun yang perlu di under line yaitu soal “kedaulatan rakyat” dalam mewujudkan kualitas demokrasi yang kita impikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Publik mestinya memahami secara detail, apa yang saya sebut “pemilih berdaulat”.
Bahwa pemilih berdaulat adalah mereka yang datang ke bilik suara bukan karena dibayar, bukan karena pendekatan etnisitas kesukuan, apalagi karena intimidasi, dan janji palsu. Secara tegas kita harus menegasikan bahwa yang begitu tidak boleh terjadi, sehingga tak akan ada yang disebut dengan “Money politics” atau politik uang.
Dengan begitu maka terwujudnya “the right vote will produce the right and a good leader” pilihan yang benar, pasti melahirkan pemimpin yang benar dan baik pula. Sebaliknya jika kita salah memilih maka tentu akan memproduksi pemimpin yang salah pula,. Memang, problem yang paling krusial saat ini adalah publik terlanjur mendefinisikan bahwa “politik itu uang”.
Asumsi yang sedemikian itu, sebetulnya hanya sebuah paradoks yang mengalami transformasi menjadi sebuah paradigma baru yang nyaris mewabah di setiap momentum pileg, pilkada bahkan pilpres. Tetapi sebagai pemilih cerdas, kita harus menghilangkan paradigma itu. Bahwa politik uang itu merusak kualitas demokrasi kita.
Sebab suara kita adalah ruhnya demokrasi yang tak bisa dibeli dengan nominal Rp.500 ribu, 300 ribu, 200 ribu apalagi 100 ribu. Dengan begitu tentu anda adalah pemilih berdaulat, yang mencegah pasokan dana dari manuver para oligarki dan mencegah kepemimpinan yang berbau dinasti dan otoritarianisme. Tetapi jika transaksional uang itu terjadi, maka jangan marah ketika mereka tak lagi mendengar aspirasi kita, ya iya karena suara kita telah dibeli.
Bagi caleg yang bertarung anda harusnya yakin bahwa tak selamanya rakyat memilih atas dasar interes uang. Percayalah bahwa gagasan anda adalah senjata terampuh untuk memenangkan proses pertarungan itu. Yang harusnya secara terus menerus disampaikan ke publik. Karena hanya dengan cara itu, saya meyakini anda akan terpilih tanpa mengunakan politik uang.
Memang uang dalam politik juga sangat penting sebagai kekuatan akomodatif, untuk mengunjungi rakyat; menyampaikan visi melalui strategi dan persuasif. Tetapi janganlah membiasakan membujuk rakyat dengan memberikan uang. Seperti kata profesor Gufran A Ibrahim, bahwa “uang politik itu niscaya, sementara politik uang itu nista”. Karena itu, marilah mulai tahun 2024 kita yang mempunyai hak pilih jangan terpaku dengan rayuan para kandidat.
Mereka pasti mempunyai banyak cara untuk mengunakan politik uang atau barang. Yang dilakukan secara diam-diam, dibalik senyuman, berselimut amplop putih dengan bermodalkan ucap ikhlas dan tulus untuk berbagi. Padahal ada niat terselubung dalam mendulang suara kita untuk menang dengan cara mengelabui etika politik itu sendiri.
Disisi lain, kita juga berkeinginan agar perangkat penyelenggara yang kredibilitas dan integritas dalam melaksanakan tugasnya. Ini adalah pesan singkat; jangan ada lagi problem-problem lapor-melapor yang hanya memperkeruh dan memperpanjang transisi dalam pemerintahan kita. Jangan sampai penyimpangan itu terjadi atas ula tangan-tangan penyelenggara. Itu yang lebih parah dan payah.
Harapan kita, anda mesti menerapkan “equality before of laws”, kesamaan akses bagi setiap orang terhadap hak atas konstitusional, melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Menurut Muhammad Alim, bahwa dalam manuskrip putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 43, tentang “the right to vote and right to be candidate” hak memilih dan dipilih, juga dapat digunakan dan tidak digunakan.
Pemilih berdaulat, demokrasi berkualitas. Sebaliknya pemilih anomali akan merusak kualitas demokrasi itu sendiri. Karena itu katakan tidak pada politik uang di tahun 2024 nanti. Salam Literasi, untuk demokrasi sejati. (**)