ads

“Teguh Dalam Teduh: Edi Langkara dan Senandung Pengabdian”

Oleh ; Arafik A Rahman (Penulis Buku)

“Kepemimpinan adalah amanah, bukan kehormatan. Jika ia dipahami sebagai kehormatan, maka kehancuran menanti. Ibnu Khaldun (1332–1406).

Di sudut timur kepulauan Maluku, tepatnya di desa Gemia, Patani Utara, Halmahera Tengah, pada 12 September 1966, lahir seorang anak desa yang kelak mencatatkan jejak gagah dalam lembaran sejarah politik dan pengabdian. Dialah Edi Langkara, anak dari pasangan Langkara Hidayat dan Asia Karim yang tumbuh di tengah kesederhanaan hidup pedesaan namun menyimpan kobaran semangat kepemimpinan sejak dini.

Jalan hidupnya penuh liku, tanjakan-turunan yang menguji jiwa dan keyakinannya, namun justru itulah yang menempanya menjadi pribadi tangguh nan bersahaja. Ia menapaki dunia pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Merdeka Manado dan lulus pada tahun 1993. Hasratnya akan ilmu tidak terhenti di sana.

Ia melanjutkan studi hingga memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2005, sebuah prestasi yang menandai komitmennya untuk memadukan akal sehat dan nurani dalam membangun kehidupan yang adil dan bermartabat.

Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Edi menyerap gagasan besar tentang keadilan sosial, demokrasi, dan kepemimpinan profetik.

Pribadinya yang sejuk dan ramah, murah senyum dan ringan tangan dalam memberi, menjadi ciri yang terus melekat hingga ia menempati jabatan penting sebagai Bupati Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara periode 2017–2022. Di masa jabatannya, Edi Langkara bukan sekadar pemimpin administratif, ia adalah pelayan rakyat sejati, merakyat tanpa pura-pura, dan dekat tanpa kepura-puraan.

“Kebesaran seseorang tidak terletak pada kekuasaan yang dimilikinya, tetapi pada kemampuan untuk menghidupi nilai-nilai yang lebih besar dari dirinya sendiri,”. (Jean-Jacques Rousseau)

Sebagai pemimpin, Edi Langkara melakukan berbagai terobosan progresif. Ia membangun infrastruktur yang menjangkau desa-desa terisolasi, membuka akses ekonomi rakyat kecil, dan merawat warisan sejarah daerahnya. Salah satu langkah monumental adalah mendorong nama Salahuddin Bin Talabbudin, seorang imam besar masa lalu, untuk diusulkan sebagai Pahlawan Nasional.

Usaha ini tak hanya sukses, tapi juga menunjukkan visi kultural dan spiritualnya sebagai pemimpin yang mengakar pada identitas dan sejarah rakyatnya. Di tengah jalan perjuangan, Elang sapaan karibnya, memang tak berhasil kembali duduk di kursi Bupati di Pilkada 2024 kemarin. Namun, bagi Edi Langkara, kekalahan bukan kesudahan, melainkan pembuka pintu lain untuk pengabdian yang lebih luas.

Dalam dirinya bergema kuat semangat filsuf Friedrich Nietzsche yang berkata: “That which does not kill me makes me stronger.”(Apa yang tidak membunuh ku justru menguatkan ku).

Dengan keteguhan hati, Elang terus menyusun langkah. Harapan untuk menjadi Gubernur Maluku Utara bukan sekadar ambisi politis, tapi panggilan nurani yang dilandasi oleh keyakinan bahwa Maluku Utara membutuhkan pemimpin yang tahu rasanya menjadi rakyat kecil, dan tahu cara merangkul masa depan tanpa melupakan asal-usul.

Kini, meski tanpa jabatan formal, Elang tetap menjadi sosok penting dalam ruang-ruang diskusi, percakapan rakyat, dan mimbar pemikiran. Ia bukan politisi yang hilang saat kekuasaan lepas dari tangan, melainkan tetap hadir sebagai sahabat rakyat, pembisik ide, dan pemantik harapan. Ia duduk semeja bersama orang-orang yang masih percaya bahwa politik bukan ladang kekuasaan, tapi medan suci untuk memperjuangkan kemaslahatan.

Dalam kehidupan pribadinya, Edi Langkara adalah suami dari Amriah Dapi, dan ayah dari enam anak: Muhammad Nur, Zulvikar Kusumah Akbar, Muhammad Nur Gemalangit, Nursafah Kusumahwati, M. Ijju Daim Basith, dan M. Mulk Daim Qamari. Keluarga adalah jangkar cintanya, pelabuhan dari segala peluh dan perjuangan.

Edi Langkara adalah sebuah narasi hidup tentang bagaimana kesederhanaan bisa melahirkan kejayaan dan bagaimana kekuasaan bisa ditanamkan dengan kasih sayang. Ia tak sempurna, seperti halnya manusia lainnya. Namun dari segala perjuangan dan jatuh bangunnya, satu hal tak bisa dibantah: ia telah memberi makna bagi tanah kelahirannya.

Dan sebagaimana pepatah bijak Timur menyebutkan: “Air mengalir ke laut karena tahu ke mana harus pulang. Maka pemimpin sejati selalu kembali pada rakyatnya.”

Edi Langkara adalah representasi pemimpin yang memahami bahwa jabatan adalah tanggung jawab, bukan singgasana kebanggaan. Bahkan saat tidak menjabat, ia tetap mengabdi. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *