
“Mendukung Pemekaran, Menjaga Warisan”
Oleh ; Arafik A Rahman (Penulis buku)
“Ketika sebuah peradaban ingin melompat ke masa depan, ia harus memastikan tak meninggalkan akarnya,” (Prof. Edi Sedyawati, ahli budaya Indonesia).
Di sebuah gugusan teluk yang indah, ada sebuah kota belia yang menyimpan degup lama: Sofifi, ibu kota administratif yang sejak lama menunggu diresmikan sebagai entitas utuh. Dalam pusaran perdebatan tentang Daerah Otonom Baru (DOB), Sofifi menjadi titik temu antara harapan dan kecemasan, antara modernitas dan warisan budaya.
Dukungan dan penolakan mengalir kencang akhir-akhir ini, menguji sejauh mana kita mampu menyeimbangkan semangat pembangunan dengan kepekaan budaya. Kami berpandangan, Sofifi layak menjadi DOB. Bukan sekadar demi efisiensi tata kelola atau pemenuhan syarat administratif, melainkan sebagai langkah strategis mempercepat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan memperluas akses layanan publik di kawasan ibu kota. Namun, dalam menyetujui pemekaran ini, satu hal yang tak boleh ditanggalkan: penghormatan terhadap budaya, sejarah, dan identitas leluhur.
Kata, Lewis Mumford “City planning must be grounded in cultural memory; without it, cities become deserts with lights. Bahwa Perencanaan kota harus berakar pada ingatan budaya; tanpanya, kota akan menjadi padang pasir yang hanya dipenuhi cahaya.
Pemekaran yang baik tidak pernah lahir dari niat sentimen, ego dan tergesa-gesa apalagi tanpa ketulusan. Ia menuntut visi jangka panjang, partisipasi warga, dan integrasi nilai-nilai lokal ke dalam rancangan pembangunan. Sofifi adalah kota yang tumbuh di atas jejak pelabuhan tua, pasar rakyat, dan napas adat. Maka, DOB ini harus menjamin bahwa warisan budaya, baik yang implisit maupun eksplisit atau yang tersirat, tidak lenyap dalam euforia betonisasi.
Sikap sebagian pihak, termasuk Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan masyarakat adat, yang menyuarakan penolakan terhadap nomenklatur “Sofifi” dalam rencana DOB, sejatinya bukan penentangan terhadap kemajuan. Mereka sedang menyuarakan kekhawatiran kultural yang patut didengar. Di sinilah letak tantangannya: bagaimana membangun kota yang modern, namun tetap membumi pada akar identitas. “Kebudayaan adalah akar panjang; kota yang sehat harus menyiram akarnya, bukan hanya memoles daunnya,” (Dr. Ratna Sari Dewi, Antropolog Budaya).
Kami mendukung Gubernur Maluku Utara, DPRD Provinsi, dan elemen masyarakat yang berpandangan jauh ke depan dalam mendorong DOB Sofifi. Namun, kami juga mengajak semua pihak untuk membangun melalui jalan tengah: merumuskan kebijakan yang tidak menyisihkan sejarah, dan memastikan pembangunan tidak menjadi sekadar proyek.
Dengan pendekatan dialogis atau interaktif yang melibatkan sultan, tokoh adat, akademisi, perempuan, pemuda, dan pelaku ekonomi lokal. Sofifi dapat menjadi model DOB berbudaya: pemerintahan yang efektif, namun tetap berjiwa; kota yang modern, namun tidak lupa asal usulnya.
Namun perlu di underline, bahwa mendukung pemekaran bukan berarti menafikan sejarah dan kearifan lokal. Justru dalam semangat pemekaran yang benar, pemajuan adat dan pelestarian nilai-nilai budaya harus menjadi roh utama pembangunan. Hanya saja, Tidore Kepulauan yang diusulkan sebagai nomenklatur baru untuk menggantikan Sofifi, patut dihargai sebagai bagian dari dialektika sejarah dan ekspresi kultural masyarakat adat.
Tetapi kita tak bisa nafikan, bahwa keberadaan Sofifi sebagai pusat pemerintahan selama ini telah menyemai bibit-bibit kota masa depan yang layak ditumbuhkan dengan marwahnya sendiri. Kita butuh jembatan dialog antara warisan leluhur dan arsitektur kemajuan. Mendukung DOB Sofifi berarti merawat janji konstitusi, memudahkan pelayanan publik, dan mempercepat pemerataan pembangunan wilayah yang selama ini masih timpang.
Ini bukan semata tentang peta administratif, tetapi tentang keadilan spasial dan sosial. Maka pilihan kita hari ini adalah bagaimana memadukan kemauan pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat pendukung DOB dengan sikap kultural yang luhur agar kota ini tumbuh bukan hanya dengan beton dan aspal, tapi juga dengan jiwa. Sofifi harus jadi contoh bagaimana kota bisa dibangun tanpa menghapus akar, dan masa depan bisa dijemput tanpa memusuhi masa lalu.
Sofifi tak sedang menghapus sejarah, ia sedang menulis babak baru. Maka, biarlah ia tumbuh dengan elegan: sebagai DOB yang mencerminkan kemajuan dan kearifan dalam satu tarikan nafas.
“Tak ada kota yang benar-benar maju tanpa menoleh ke cermin sejarahnya; karena di sanalah ia tahu untuk siapa ia tumbuh.” (**)