
Jejak Sultan di Morotai: “Bandara Ini Layak Bernama Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah”
Oleh ; Arafik A Rahman (Penulis buku)
“Names are not trivial; they are vessels of memory, identity, and pride.” Nama bukanlah hal sepele; ia adalah wadah bagi ingatan, identitas dan kebanggaan, (Eric Hobsbawm, sejarawan dunia terkemuka).
PULAU, Morotai bukanlah pulau biasa. Ia adalah saksi sejarah dunia, tempat di mana dentuman meriam, deru pesawat tempur dan jejak para pemimpin dunia pernah tertoreh. Di balik keindahan alamnya, Morotai menyimpan memori panjang tentang keberanian, diplomasi dan integritas yang hingga kini masih terpatri di hati masyarakatnya.
Kini, saat Morotai tengah menata diri menjadi destinasi strategis nasional, satu wacana besar menyeruak: usulan penggantian nama Bandara Udara Pitu Morotai atau Leo Wattimena menjadi Bandar Udara Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah. Ini bukan sekadar pergantian nama fasilitas umum. Ini adalah upaya untuk mengembalikan marwah sejarah dan identitas lokal Morotai.
Pada 15 September 1944, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mac Arthur mendarat di Pulau Morotai. Pulau ini menjadi pangkalan strategis untuk serangan ke Filipina dan Jepang. Namun, jauh sebelum pasukan Sekutu tiba, Morotai telah menjadi bagian dari Kesultanan Ternate.
Di tengah perang yang berkecamuk, Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah, pemimpin Kesultanan Ternate saat itu, menjadi figur sentral. Beliaulah yang menjalin komunikasi diplomatik dengan pihak Sekutu. Sang Sultan menyetujui Morotai dijadikan pangkalan militer dengan tiga syarat penting:
1. Rakyat Morotai tidak bergabung dengan Jepang.
2. Morotai hanya dijadikan pangkalan militer sementara.
3. Setelah perang usai, Morotai dikembalikan kepada Kesultanan Ternate.
Bahkan, seusai perang, Jenderal Mac Arthur menawarkan tiga opsi kepada Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah: bergabung dengan Amerika Serikat, menjadi negara merdeka, atau masuk ke dalam NKRI. Sang Sultan memilih bergabung dengan Indonesia, sebuah keputusan besar yang meletakkan Morotai ke dalam pelukan Ibu Pertiwi. Menurut catatan Arafik A. Rahman dalam bukunya Perang Pasifik, Pemekaran dan Pembangunan (2022).
Saat ini, bandara utama Morotai bernama Pitu yang artinya Tujuh atau Leo Wattimena, mengenang seorang tokoh TNI AU dalam Operasi Trikora. Namun, jika kita menilik akar sejarah Morotai, nama Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah jauh lebih melekat dengan pulau ini. Beliau bukan sekadar pemimpin politik, tapi juga penjaga moral, pelindung rakyat dan pengambil keputusan besar dalam sejarah Morotai.
Mengapa nama bandara harus dipertimbangkan ulang?. Karena, nama bukan sekadar identitas administratif, melainkan juga simbol sejarah, kebanggaan dan jati diri. Mengabadikan nama Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah bukan hanya menghormati jasa beliau, tetapi juga mengajarkan kepada generasi muda Morotai dan Maluku Utara bahwa pulau ini pernah melahirkan keputusan besar bagi Indonesia.
Sejarawan ternama Eric Hobsbawm dalam bukunya Nations and Nationalism since 1780 menegaskan bahwa penamaan tempat adalah alat politik yang penting untuk merawat identitas kolektif. Begitu pula Leonard Andaya yang dalam The World of Maluku menyebut Morotai sebagai bagian penting dari Kesultanan Ternate.
Harapan saya, semoga ada dukungan yang kuat atas usulan pergantian nama bandara ini, agar tak sebatas suara tunggal. Misalnya oleh Kesultanan Ternate, Gubernur Maluku Utara, pemerintah/DPRD Kabupaten Pulau Morotai, tokoh adat, tokoh pemuda, akademisi, hingga masyarakat luas di kabupaten Pulau Morotai. Untuk menyatakan dukungan resmi. Sepakat atau tidak inilah saat yang tepat untuk mengembalikan nama bandara kepada sosok yang memang berjasa besar bagi Morotai.
Ini bukan tentang meniadakan jasa tokoh lain, melainkan tentang menempatkan nama sesuai sejarahnya. Di setiap pengumuman penerbangan, nama Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah akan terus mengingatkan siapa yang dulu menjaga pulau ini dari cengkeraman penjajahan dan membuka pintu diplomasi bagi kemerdekaan Indonesia.
Pulau Morotai hari ini adalah simbol masa depan, tapi ia juga tak boleh melupakan masa lalunya. Mengganti nama bandara ini adalah cara sederhana, namun bermakna dalam, untuk mengokohkan identitas lokal dan merawat kebanggaan sejarah. Kita bisa membangun bandara baru, hotel mewah, dan jalan bebas hambatan. Tapi sejarah tak pernah bisa dibangun ulang. Ia hanya bisa dijaga.
Dan menjaga sejarah berarti menempatkan nama-nama yang tepat pada tempat yang seharusnya. Bandara Udara Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah. Sebuah nama yang pantas, layak, dan seharusnya kembali hadir di langit Morotai.
Seperti kata, Winston Churchill “A nation which forgets its history has no future.” “Sebuah bangsa yang melupakan sejarahnya, tidak memiliki masa depan.
Catatan :
Dokumen yang perlu disiapkan sebagai Berikut :
1. Naskah Akademik.
2. Surat pengantar ke Kementerian Perhubungan.
3. Surat dukungan pemerintah/DPRD (Kabupaten dan provinsi)
4. Surat dukungan kesultanan Ternate.
5. Surat dukungan beberapa tokoh/lembaga.
6. Surat tembusan ke Presiden RI di Jakarta. (**)