TERNATE, TERBITMALUT.COM – Kepala Museum Sejarah Ternate, Rinto Taib mengatakan, negeri ini memiliki potensi objek kemajuan Kebudayaan serta destinasi wisata yang menarik untuk dikembangkan, tidak saja di bidang sejarah melainkan juga menyentuh segmen yang lebih luas, diantaranya tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun dalam perspektif mitologi kebaharian yang memukau untuk diselami dan dimaknai.

Demikian pula, kata Rinto, perjalanan panjang sejarah bangsa ini juga telah terukir di berbagai lembaran buku, artefak sejarah, manuskrip, prasasti dan peninggalan arkeologis hingga arsitektur dan landscape alam yang sarat akan makna historis, filosofis dan juga sosiologis dalam dinamika interaksi sosial yang terjalin dari masa ke masa hingga kini.

“Tentunya realitas historis ini mesti kita kembangkan serta kita tingkatkan untuk menjadi hidup kembali (revitalisasi) dalam wujud investasi pembangunan prasarana dan sarana pariwisata maupun narasi agung yang akan memperkuat identitas kita sebagai bangsa bahari guna,”katanya kepada Terbitmalut.com Senin, (16/10/2023).

Dengan langkah ini, lanjutnya, maka kita sesungguhnya tidak sekedar melestarikan warisan kejayaan dan keagungan dan kemajuan peradaban yang telah dicapai leluhur kita. Namun, juga telah berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap wisatawan baik dalam negeri maupun mancanegara, sehingga pada akhirnya bukan sekedar mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan semata melainkan tentunya ikut berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, salah satunya adalah ritual “Uci Dowong” (turun ke pasir/pantai).

Ritual “Uci Dowong” (turun ke pasir/pantai) di Pantai Kelurahan Sulamadaha. (Foto.Istimewa)

Menurutnya, Ritual Uci Dowong sendiri merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat pesisir yang menyisakan jejak kebudayaan baik benda maupun tak benda yaitu berupa keramat para leluhur dan juga “batu” khas dari tanah Sula atau sejenis batu alam yang umumnya banyak kita temukan di Kabupaten Sula (Sanana).

Secara harfiah, ritual Uci Dowong memiliki arti “turun ke pasir/pantai” untuk melaksanakan adat dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun oleh para pendahulu negeri ini yang termasuk dipertahankan dan dilestarikan hingga saat ini di wilayah adat Kesultanan Ternate yang lebih dikenal dengan Soa Tabanga, Soa Sula, Soa Toma Afu, dan Soa Yalafai.

“Sehingga empat Soa inilah yang saat ini menurunkan keturunan dari generasi ke generasi secara geneologis dan bermukim di wilayah yang kita kenal saat ini dengan sebutan “Sulamadaha,”ucapnya.

Kemudian, secara etimologis, kata “Sulamadaha” berasal dari bahasa Ternate yang artinya di dalam Sula. Diksi ini memberikan pengertian bahwa kawasan yang dimaksud pada suatu tempat tertentu telah bermukim orang-orang dari tanah Sula atau yang kita kenali dengan sebutan lainnya Sanana yang mencakup wilayah administratif kabupaten kepulauan Sula di masa kini.

Maka, kehadiran orang-orang Sula yang bermukim secara turun temurun hingga saat ini di Sulamadaha tersebut berasal dari para Kapita dan Fanyira wilayah adat Kesultanan Ternate yang berdomisili di kepulauan Sula, mereka datang mengantarkan upeti (pajak) untuk diserahkan kepada Sultan Ternate atas perintah Sangadji Fagudu dari negeri Sula.

Setelah upeti diserahkan, maka mereka pun meminta restu kepada Sultan Ternate yang berkuasa, ketika itu untuk mengizinkan mereka menetap di Ternate ketika itu. Mendengar permohonan dari para Kapita dan Fanyira Sula tersebut maka Sang Sultan pun memberikan “Izin” atau perintah untuk kelima Kapita dan Fanyira tersebut menemui Fanyira Tabanga dan Fanyira Toma Afu hingga akhirnya mereka mendapatkan tempat tinggal yang diberikan oleh Fanyira Toma Afu.

Pembacaan Doa Ritual “Uci Dowong” (turun ke pasir/pantai) Kelurahan Sulamadaha. (Foto.Istimewa)

Setelah mendapatkan izin untuk pemukiman mereka, maka selanjutnya Fanyira Sula menyampaikan izin kepada Fanyira Toma Afu pula agar diizinkan mereka untuk meletakan butiran pasir hitam yang dibawa dari tanah Sula sejumlah satu buah tempurung kelapa serta batu kecil seukuran kuku pada jari manis tangan dan kaki manusia sejumlah satu buah tempurung kelapa pula.

Batu tersebut hingga kini dikenal dengan sebutan “batu sula” yang terletak di halaman sebuah rumah bagian belakang Mesjid Sulamadaha dan demikian pula pasir yang kini kita temukan di sepanjang pesisir pantai wisata Sulamadaha.

“Dengan demikian maka ritual “Uci Dowong” merupakan sebuah napak tilas perjalanan kehidupan migrasi sekelompok manusia dari negeri seberang tanah Sula, yang “mengabdi” kepada Sultan dan Kesultanan Ternate (dalam bahasa Ternate disebut (Ma Cou) sebagai bagian dari wilayah adat Kesultanan Ternate di masa lalu hingga sekarang dengan pemimpinnya yang dikenal dengan sebutan Salahakan dengan pranata kelembagaan adat yang fungsional hingga sekarang,”ungkapnya.

Rinto juga menambahkan, relasi politik kekuasaan antara Kesultanan Ternate dengan negeri para Salahkan tersebut hingga kini meninggalkan jejak historis dan arkeologis yang memukau sebagai pusaka Sejarah, pusaka Alam dan sekaligus pusaka Saujana.

“Sehingga, warisan budaya baik benda maupun tak benda sebagai bukti dari relasi sosial politik dan kultural yang terpaut antara Ternate dan Sula masih kita temukan hingga saat ini baik secara genealogis (keturunan), kebahasaan (linguistik) hingga arkeologis (situs keramat dan benda pusaka),”terangnya.

Dikatakan Rinto juga, dari ekspedisi yang ia lakukan beberapa waktu lalu ditemukan beberapa diantaranya adalah adanya situs Air Santosa, yang terdapat di tanah Sula tepatnya di desa Fukweu adalah merupakan Air yang dibawa dari mata air Sentosa kedaton Sultan Ternate, yang diperuntukkan sebagai air minum sang Sultan ketika bersama Sangadji dan para pasukan ketika pergi ke tanah Sula.

Demikian pula, narasi pelantikan adat yang dikenal dengan istilah “Rorasa” juga disebut dengan istilah “Bobet” dalam bahasa Sula yang juga sebutan yang sama persis dikenal di Ternate yaitu “Bobeto”. Tidak hanya itu, isi Bobet tersebut juga adalah menggunakan bahasa Ternate di masa lalu yang sarat dengan cita rasa sastra. Akulturasi budaya dalam hal kebahasaan ini juga menjadi narasi penting dari relasi sosial politik dan kultural yang terbangun antara Ternate dan Sula.

Relasi budaya yang terpaut kental antara tanah Sula dengan Ternate merupakan bukti kebesaran Allah SWT yang dapat kita petik makna dan hikmah penting dalam membangun kebudayaan bersama dan peradaban bagi kemanusiaan.

Sebagaimana tergambar jelas pada simbolisasi atau lambang Kesultanan Ternate dengan burung “Goheba” yang berkepala dua namun berhati satu yakni mengisyaratkan bahwa sesungguhnya perbedaan suku, ras dan agama diantara kita sebagai manusia adalah Sunnatullah namun sesungguhnya kita adalah satu yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal di atas pilar kemanusiaan (humanisme).

“Maka pada segi yang lain, ritual “Uci Dowong” juga merupakan sebuah implementasi penghormatan atas keagungan penciptaan alam semesta oleh Allah SWT khususnya yang berkaitan dengan alam pantai dan masyarakat pesisir,”bebernya.

Sebuah praktik, lanjut Rinto lagi, dari produk kebudayaan lokal yang berorientasi pada upaya pelestarian ekologi (lingkungan) dan juga nilai-nilai fundamental kultural bagi keberlanjutan lingkungan hidup manusia, melalui berbagai doa yang dipanjatkan ke “langit” kehadirat Yang Maha Kuasa melalui rangkaian baca Doa hingga ziarah keramat di darat maupun di laut dengan menggunakan perahu oleh para bobato akhirat dan bobato dunia (urusan agama/Syar’i dan pemerintahan dunia) lembaga Kesultanan Ternate.

Wali Kota Ternate, M. Tauhid Soleman, saat menghadiri Puncak acara Ritual Uci Dowong, dilaksanakan oleh masyarakat Sulamadaha yang berlangsung di Pantai Wisata Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat, Senin (16/10/2023). Foto : Istimewa

Sementara itu, Wali kota Ternate, Dr. M. Tauhid Soleman, pada saat menghadiri ritual “Uci Dowong” juga mengapresiasi masyarakat adat empat Soa yang menyelenggarakan ritual “Uci Dowong” tersebut, sembari berpesan kepada pihak penyelenggara dan ratusan warga yang memenuhi lokasi wisata pantai Sulamadaha untuk terus melestarikan warisan budaya lokal yang sarat akan nilai religius dan ekologis tersebut.

Selanjutnya, Wali Kota pun memerintahkan kepada OPD terkait seperti Dinas Pariwisata untuk menjadikan ritual ini sebagai event pariwisata tahunan.

“Karena pemerintah Kota Ternate terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pelaku pembangunan pariwisata bahari secara menyeluruh, di setiap kawasan destinasi wisata bahari di kota ini melalui berbagai program pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata seperti wisata selam (diving), wisata mancing (game fishing), kuliner hingga festival kora-kora,”ucap Tauhid.

Pada konteks ini pula, lanjut Tauhid, festival Kora-kora tersebut juga merupakan atraksi koneksitas pelayaran sebagai spirit, memori dan inspirasi yang mencakup dan menjalin koneksitas gugusan pulau-pulau. Termasuk ketika ekspedisi kesultanan, yang dilakukan pada masa lalu ke berbagai wilayah kekuasaannya.

Pada segi yang lain, kata Mantan Sekda Kota Ternate itu, tentunya kegiatan ini mempromosikan potensi Pariwisata Bahari sekaligus napak tilas pelayaran para leluhur yang telah berpetualang melintasi lautan di masa lalu.

“Ritual “Uci Dwong” hari ini juga merupakan sebuah implementasi konsep pembangunan kepariwisataan daerah yang berbasis pada pendekatan historis (share history) serta kearifan lokal (share heritage) yang bertumpu pada semangat lokalitas sehingga diharapkan dapat berjalan secara selaras, serasi, dan harmonis dengan kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita,”ungkapnya.

Seiring detak waktu, Tauhid menambahkan, pantai Sulamadaha tempat berlangsungnya ritual “Uci Dowong” ini telah menjadi tempat favorit dari berbagai kunjungan para wisatawan baik lokal, nasional maupun internasional sejak dahulu kala.

Hal ini tidak lain, karena keindahan panorama alam yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Karena itu pula, pantai Sulamadaha pernah dikunjungi oleh Pangeran Bernhard dari kerajaan Belanda pada beberapa tahun silam.

Kata indah atau cantik sekalipun tidak cukup untuk memberikan visualisasi menyeluruh mengenai keistimewaan pantai Sulamadaha ini. Karena anugerah alam yang luar biasa ini pula, pengembangan dan penataan kawasan objek wisata pantai tentu tidak semata menjadi tanggungjawab pemerintah daerah semata melainkan juga tanggungjawab bersama masyarakat tempatan.

Dengan jumlah kunjungan para wisatawan ke objek wisata pantai yang mengalami peningkatan akhir-akhir ini tentunya cukup potensial untuk dikembangkan sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak termasuk masyarakat sekitar. Bagi kalangan Diver, kondisi alam bawah laut pantai Sulamadaha menawarkan panorama alam tersendiri.

Kemudian, kecantikan alamnya tersebar di beberapa dive site seperti di Hall serta beberapa situs penyelaman lainnya yang menyimpan puluhan spesies di area terumbu karang di kawasan Hall dan Jikomalamo. Tidak mengherankan jika jumlah kunjungan wisatawan semakin meningkat yang seolah tidak mengenal musim terlebih saat datangnya musim libur seperti akhir pekan dan waktu libur di hari-hari tertentu lainnya.

“Pada kawasan “Hall” di pantai Sulamadaha ini pula dapat kita temukan jenis Soft Coral, Lion Fish, serta segerombolan ikan berwarna warni yang cukup menarik. Dengan potensi bawah laut yang demikian menarik maka pengembangan pariwisata pantai ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan daerah, perlindungan terhadap lingkungan ekologis serta mampu mensejahterakan masyarakat,”tutupnya. (ADV) 

Penulis : Sukur 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *