WEDA, TERBITMALUT.COM — Soal dugaan “main mata” antara mantan Pj Bupati Halteng, Ikram M. Sangadji (IMS) dengan vendor catering PT IWIP tentang pajak restoran, yang merugikan Halmahera Tengah Rp. 60 miliar per tahun, begini penjelasan tim hukum Ikram M. Sangadji.

Melalui Muhammad Thabrani, Tim Hukum IMS menyampaikan, Pendapatan pajak restoran yang dirancang pads tahun 2022 di masa kepemimpinan Elang-Rahim yang dapat menggenjot pajak restoran yang mendatangkan total PAD ke kas daerah sekitar Rp. 84 miliar Rupiah per tahun itu hanya asumsi belaka.

Misalnya rekan Hendra Karianga, seharusnya sebagai orang hukum menyampaikan statement tersebut harus berbasis data dan terukur, sehingga dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengkritisi kebijakan pemerintah kabupaten Halmahera tengah.

“Perihal ini, juga dimaksudkan agar tuduhan kepada IMS selaku Pj. Bupati merugikan daerah sebesar Rp. 60 Miliar rupiah terkonfirmasi dan dapat dipertanggungjawabkan,”ujarnya seperti rilis diterima Redaksi Terbitmalut.com Sabtu, (14/9/2024).

Jika merujuk ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Restoran Baru yang berlaku disebutkan subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran mencakup rumah makan, kafetaria, kantin, warung bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

“Sehingga, mekanisme penagihan pajak restoran yang menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang besarannya harus didasarkan pada data jumlah pembayaran yang dilakukan oleh para karyawan/subjek pajak kepada penyedia jasa restoran,”jelasnya.

Jika para karyawan/subjek pajak tidak melakukan pembayaran atas makanan dan minuman yang disediakan oleh jasa restoran atau sejenisnya, maka tidak dapat dikenakan pajak restoran.

“Adapun sampai dengan saat ini Pihak PT IWIP belum menyetujui dan bersepakat dengan besaran penetapan pajak restoran yang diasumsikan oleh Pemda Halmahera Tengah melalui surat Bupati nomor v 970/0647 tanggal 19 September 2022 tentang pemberitahuan penetapan pajak daerah,”ungkapnya.

Ia menambahkan, bahwa sejak awal tahun 2023 Pj. Bupati telah menegaskan kepada seluruh perangkat daerah bahwa dalam setiap penetapan kebijakan harus berdasarkan pada data yang valid bukan berdasarkan asumsi dan keinginan.

Mestinya, sebagai akademisi dalam hal mengutip UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai rujukan juga harus memastikan apakah ketentuan tersebut masih berlaku ataukah sudah tidak berlaku lagi.

Karena, misalnya UU 28/2009 sebagai rujukan itu sudah dicabut dengan UU No. 1 tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.

Kemudian berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU 1/2022, ditegaskan bahwa jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota hanya terdiri dari (1) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), (3) Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Air Tanah (PAT), (6) Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan (MBLB), (7) Pajak Sarang Burung Walet, (8) Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan (9) Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Selain yang disebutkan dalam ketentuan itu, dipungut oleh Pemerintah Provinsi sebagaimana ditegaskan Pasal 4 ayat (1) UU 1/2022. (**)

Editor : Uku

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *