“Catatan Pendidikan di Provinsi Maluku Utara”
Oleh :
Bung Opick (Penulis Buku)
PENDIDIKAN adalah upaya merasionalkan potensi otak dan memaksimalkan etika dan moralitas manusia. Kira-kira begitu sebagai premis pembuka.
Bahwa merefleksikan hari pendidikan Nasional, tentu tak sekadar berbagi agenda seremonial atau rutinitas yang runtut. Kita mesti memeriksa banyak catatan yang tercecer tentang kualitas pendidikan di bangsa ini, terkhusus di provinsi Maluku Utara.
Bahwa ada banyak variabel penanda tentang lemahnya mutu dan kualitas pendidikan kita di provinsi Maluku Utara. Beberapa diantaranya, yang pertama, tentang kualitas Literasi kita. Literasi merupakan mercusuar untuk melihat bagaimana kualitas dan mutu pendidikan kita.
Ada beberapa penanda untuk melihat literasi kita baik apa tidak: Apakah perpustakaan provinsi atau kabupaten-Kota kita sudah berstandar nasional dan internasional?. Adakah universitas atau sekolah tinggi kita yang akreditasi nya berstandar internasional?. Apakah terlihat kultur masyarakat kita membaca buku di saat beraktivitas apapun profesinya?. Apakah anak muda kita mempunyai banyak buku di rumah dan gemar membacanya?. Apakah terlihat setiap desa ada perpustakaannya?.
Deretan pertanyaan diatas hanya bisa dijawab dengan satu premis yang tepat yaitu semuanya belum terpenuhi dan belum terlihat budaya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya literasi. Jadi mari kita budayakan gemar membaca buku entah itu E-book, handbook and all books. Sebab hanya dengan membaca kehidupan pribadi kita akan mengalami kemajuan.
Menurut profesor Gufran A Ibrahim, bahwa untuk melihat suatu daerah atau negara yang baik literasi nya. Hanya dengan 3 penanda; setiap hari ada salah anggota keluarga meluangkan waktunya untuk membaca buku di rumah. Kedua ada pemandangan sebagian orang membaca buku di waktu senggang saat bepergian di angkot atau pelabuhan laut dan ada orang yang membaca buku di bandara udara sebelum penerbangan.
Ke-dua tentang tenaga kerja kita tidak sesuai dengan kualifikasi bidang pekerjaan: banyak sarjana kita yang terlanjur menjadi buruh di beberapa pertambangan di Maluku Utara. Ini terdengar lumrah tetapi merupakan sebuah nestapa karena seorang akademisi (sarjana) mestinya memegang jabatan elite di suatu perusahaan tetapi faktanya banyak menjadi buruh kasar di sana.
Dari data yang tercover di Weda Bay-Halmahera Tengah, misalnya ada 20.000 putra-putri Maluku Utara itu sekitar 50 % merupakan Sarjana yang datang untuk bekerja di Industrial Weda Indonesia Park (IWIP) dari total 43.000 TK. Salah satu penyebab utama adalah tak ada pilihan lain selain pergi ke tambang, kalau ada alasan lain silahkan diperiksa.
Ini merupakan potret lemahnya kualitas pendidikan kita, harusnya dengan strata pendidikan yang tinggi mesti melahirkan lapangan pekerjaan baru bukan menjadi pekerja atau (buru tambang). Sarjana, magister, doktor dan bahkan profesor mestinya menjadi konduktor dan kreator dalam menggerakkan kemajuan diberbagai bidang. Mulai dari pemerintahan eksekutif, legislatif, yudikatif hingga menjadi pendidik atau big bos di bidang swasta.
Ke-tiga tentang lemahnya mutu pendidikan kita adalah banyak pemuda kita yang belum rasional walaupun telah mengenyam pendidikan tinggi S1 dan S2. Bahwa budaya kesadaran tentang mitologis itu bukanlah kebenaran mutlak masih cenderung subur dan membahana di benak Mereka.
Salah satu contoh ialah banyak yang masih percaya terhadap dukun atau dalam bahasa lokal disebut “Pakatan atau Doti”. Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul “MADILOG”. Salah satu faktor penghambat kemajuan bangsa Indonesia adalah masyarakat masih percaya tentang praktek Sihir dan Tahyul.
Padahal padahal tujuan pendidikan itu, adalah memaksimalkan kualitas otak dan nurani manusia. Taukah anda bahwa kecerdasan otak manusia itu, tak dipengaruhi faktor usia, kata orang kita semakin tua maka otak ikut melemah itu tidak benar (stigma). Menurut Dokter Laraloid, “otak manusia itu elastis, unik dan terus berkembang. Kapasitas otak dibentuk secara struktural dan fungsional oleh segala yang kita lakukan”.
Laraloid meneliti kecerdasan sopir-sopir angkot di kota London, banyak di usia 30-60 tahun yang lebih mengingat setiap jalan dan lorong di London. Karena lebih dari 10 tahun mereka menjadi sopir daripada orang yang belum terlalu lama menjadi sopir di sana.
Jadi kecerdasan otak itu tergantung pada seberapa dan sesering yang kita lakukan baik secara struktural ataupun fungsional. Setiap personal memiliki minta masing-masing, bisa saja 1, 2, 3 atau lebih bidang ilmu. Mereka yang meminati semua bidang ilmu pengetahuan biasanya disebut filsuf karena berawal dari memperdalam ilmu Filsafat “mother of science“.
Tetapi mayoritas manusia memiliki keterampilan yang terbatas atau minat yang sedikit. Kata Albert Einstein “jangan paksakan Ikan untuk belajar memanjat pohon”. Bahwa dewasa ini ada benarnya yang dikatakan Einstein, kebanyakan orang hanya memfokus pada bidangnya. Padahal mereka lupa bahwa kemampuan otak manusia itu mampu mempelajari semua bidang. Sebab manusia adalah mahluk yang selalu survive in life kata Charles Darwin.
Variabel yang ke-empat adalah banyak dari kita yang belum memahami apa itu kebijaksanaan? Bijak itu tak sekadar dimiliki kaum sufi atau filsuf. Tetapi orang yang terdidik juga adalah orang-orang yang mestinya bijaksana. Karena manusia adalah makhluk yang berpikir rasional animal rasional kata Plato, adalah mahluk berpikir kata Descartes.
So, semakin tinggi pendidikan seseorang harusnya dia semakin bijaksana dalam mengambil keputusan dan menyikapi segala hal. Jangan kita sentimen melihat prestasi orang lain apalagi mencelakai orang lain. Itu bukan tugasnya mahluk rasional. Oleh sebab itu jadilah manusia yang terdidik,.
Satu orang cerdas dan bijaksana akan membentuk suatu negara yang cerdas dan bijaksana pula. A good country is create by a good society.
#Selamat hari Pendidikan Nasional, 02 Mei 2024.