“Dari Tidore Kita Belajar Toleransi”
Oleh ;
Ahmad Ibrahim (Jurnalis Senior)
TANGGAL 23 September 2019 ada sebuah surat yang beredar dari Sultan Tidore H.Husain Sjah. Surat itu ditujukan kepada saudaranya di Tanah Papua dan Papua Barat berisi tentang pentingnya menjaga toleransi dan semangat persaudaraan.
Surat Sultan Tidore Husain Sjah atau biasa disapa Ou itu menyusul insiden pembakaran dan pengrusakan rumah dan bangunan milik warga pendatang hingga menyita perhatian banyak pihak.
“Jagalah saudara-saudaramu dari segala marah bahaya sebagaimana kami menjaga harkat dan martabat saudaramu di tanah kami Maluku dan Maluku Utara,”bunyi surat.
Dari Tanah Kesultanan Tidore, Sultan lalu menyampaikan salam persaudaraan dari lubuk hatinya paling dalam dan berharap saudaranya di Tanah Papua dan Papua Barat selalu dalam lindungan Kasih Sayang Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Ikatan persaudaraan antara Papua, Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo serta Maluku Kie Raha dan Maluku adalah persaudaraan sejati yang terbangun berabad-abad lamanya tanpa memandang perbedaan ras dan agama. Dalam perkataan lain, solidaritas dan toleransi begitu sangat terjaga dengan indah dan tertata baik. Karena itu ia menaruh harapan agar jalinan persaudaraan ini jangan sampai terkoyak.
“Kami tak ingin ada yang patah dan terluka dalam bingkai persaudaraan ini. Kami ingin mata kami dan mata kalian serta mata siapapun untuk menjadikan damai itu indah,”bunyi surat itu. Atas nama kemanusiaan berikanlah jaminan rasa aman dan tepiskanlah semua rasa takut yang ada di hati saudara- saudaramu dari manapun mereka berasal yang tidak menentu nasibnya di tempat mereka berlindung di tanah kalian.
Dalam buku Alberthiene Endah berjudul: Laki-Laki Dari Tidore ada hal menarik yang patut dicatat. Banyak kisah diceritakan soal peran Kesultanan Tidore tentang Papua. Yakni, bagaimana Papua ditemukan dan peran Sultan Tidore melindungi Papua. Tidore adalah pemegang “saham” terbesar atas tanah Papua dalam sejarah Republik Indonesia dari cengkraman Belanda.
Dan, kita semua tahu menghadapi gugatan Belanda terhadap Indonesia atas tanah Papua di forum PBB di New York membuat Presiden Soekarno dua kali ke Tidore pada 1957 menemui Sultan Tidore Zainal Abidin Sjah untuk meminta legitimitasi kepada Sultan Tidore bahwa Papua adalah wilayah Kesultanan Tidore. Berkat surat Sultan Tidore inilah membatalkan gugatan Belanda.
Dari Papua pula elite-elite politik kita di Jakarta pernah ribut soal pembagian saham pada tambang emas PT Freeport hingga muncul istilah “papa minta saham”.
Surat Sultan Tidore kepada saudaranya di Tanah Papua itu mengingatkan kita bahwa semangat mengedepankan sikap toleransi dan persaudaraan oleh orang-orang Maluku Utara di bawah dua kesultanan Tidore dan Ternate itu tidak perlu diragukan.
Sebelum orang berbicara soal toleransi Sultan Tidore Ahmadul Sirajudin pada 1885 sudah menerapkannya. Yakni bagaimana sang sultan memperlakukan dua misionaris Kristen Jerman bernama C.W.Ottow dan GJ.Gissller yang ingin menyebarkan Kristen di Tidore tapi oleh sultan dipersilahkan ke tanah Papua di Manokwari. Bukan di Fakfak atau Raja Ampat yang sudah lebih dulu memeluk Islam.
Sultan membatasi mereka untuk tidak ke Fakfak dan Raja Ampat sebab kedua tempat tersebut penduduknya sudah lebih dulu memeluk Islam. Berkat rekomemdasi sultan itulah mereka berhasil masuk Papua. Padahal Sultan Tidore yang Islam tahu persis kedua misionaris ini akan menyebarkan Kristen di Papua.
Rekomendasi ini penting karena tidak gampang masuk Papua dengan kondisi masyarakatnya yang masih terbatas di masa itu. Sultan juga sangat bijaksana karena sebagai wilayah kekuasaannya, sultan berpikir inilah kesempatan untuk membuka keterisolasian Papua dari segala hal termasuk peradaban dan pendidikan.
Jadi, inilah bukti bahwa Islam itu indah, damai dan sangat toleran terutama terhadap saudara kita di Papua. Dan, sejarah juga mencatat bagaimana peran Tidore menjadi ibukota Provinsi Papua dan menjadi pusat pengendali operasi pembebasan Irian Barat.
Surat Sultan Tidore Husain Sjah di atas mengingatkan kita untuk mereka yang sengaja “memanfaatkan” tanah Papua untuk mencari perhatian dan kepentingan baik dilakukan dengan terang-terangan atau melalui tangan-tangan tersembunyi (invisible hand) agar berpikir ulang tentang bagaimana peran Tidore menemukan Papua.
Inilah kesultanan yang telah menyerahkan hartanya yang sangat berharga atas 1/3 wilayah Republik Indonesia yang menjadi Kedaulatan Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo dimana di dalamnya ada Papua, Seram, Buru, Lease, Ambon, Ambalau, Kei, Tanimbar, semua Pulau Halmahera hingga Vanuatu di Samudera Pasifik, itu.
Dari Tidore kita mengenal Sultan Nuku. Ia adalah pahlawan pembebasan untuk Maluku dari cengkeraman melawan penjajah. Nuku atau Kaicil Paparangan yang oleh Barat dikenal sebagai The Lord of Fortuner atau penguasa tangguh dari Kesultanan Tidore ini telah mencatat sejarah panjang tersebut. Ia tercatat sebagai pahlawan nasional dalam sejarah Indonesia yang tak pernah kalah dalam melawan penjajah.
Sebelum Sultan Nuku, kita juga pernah mengenal namanya Sultan Abdullah Qadhi Abdussalam yang sangat disegani penjajah Belanda yang sempat diasingkan ke Ambon, Batavia (Jakarta), dan Cape Town Afrika hingga kemudian dipenjara selama 14 tahun di Pulau Robin Island Afrika pada 1763. Karena, jasanya oleh pemerintah Afrika ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional di bawah pemerintahan Presiden Chryl Ramaphosa pada 2018 lalu.
Dari keteguhannya menentang penjajah itulah menginspirasi tokoh pejuang Apartheid Afrika Selatan Nelson Mandela.
“Saya bisa begini (menjadi Presiden Afrika) karena sahabat saya yang datang dari jauh. Dari beliaulah saya terinspirasi membebaskan Afrika Selatan. Ya, dia adalah Sultan Abdullah Qadhi Abdussalam atau Tuan Guru dari Tidore,” ujar Sultan Tidore saat ini Sultan Husain Sjah, mengutip ucapan Nelson Mandela, beberapa saat menghadiri penobatan Sultan Abdullah Qadhi Abdussalam atau Tuan Guru dari Tidore sebagai pahlawan nasional Afrika 2018.
Pengakuan Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, atas ketokohan Tuan Guru dari Tidore itu pernah diceritakan oleh Sultan Husain Sjah kepada saya. Sultan Tidore yang juga anggota DPD-RI dari Provinsi Maluku Utara ini menceritakan kisah ini setelah sesi diskusi Sarasehan Nasional bertema: Merawat Perdamaian Belajar dari Resolusi Konflik dan Damai di Maluku dan Maluku Utara untuk Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur, yang diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional yang dipimpin Letjen TNI Doni Monardo, di Jakarta, 9 s/d 13 Juli 2018.
Perjuangan Nelson Mandela sebagaimana diketahui adalah penentang politik apharteid sebuah sistem yang memisahkan ras oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan yang berlangsung sejak 1948 s/d 1994. Perjuangannya yang tidak mengenal lelah itulah membuat Nelson Mandela dipenjara di Robind Island oleh rezim setempat.
Karena terilhami oleh perjuangan Tuan Guru dari Tidore itulah oleh pemerintahan Afrika Selatan memberikan penghargaan kepada Tuan Guru dari Tidore sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan.
“Saya barusan pulang dari Afrika Selatan menerima penghargaan tersebut,” ujar Sultan Tidore Husain Sjah saat itu. Maka dari cerita itu terungkap, sejak kedatangan Spanyol, Portugis hingga Belanda melalui politik dagang VOC yang mengincar Maluku tak lepas karena kekayaan alam yang melimpah.
Sosok Tuan Guru dari Tidore saat itu secara tegas menolak penguasaan asing atas daerahnya. “Mereka boleh berdagang, tapi tak boleh berkuasa. Sebab, beliau tahu ada agenda terselubung di balik itu,”ujarnya.
Perlawanannya yang begitu tegas tak membuat semangat Tuan Guru dari Tidore ini redup. Dan, oleh Belanda kemudian diasingkan ke Ambon. Dari Ambon dia tetap memimpin perlawanan dan kemudian oleh Belanda dibuang lagi ke Jakarta. Di Jakarta masih tetap sama Tuan Guru Tidore ini mengobarkan perlawanan lagi dan oleh Belanda ia kemudian diasingkan ke Cape Town Afrika Selatan.
Tak cukup, Belanda kemudian mengasingkan Tuan Guru dari Tidore ini ke penjara Robin Island selama 14 tahun. Dan, di Robind Island ini pula tempat dimana Tuan Guru dari Tidore dipenjara diikuti oleh Nelson Mandela. Dari penjara Robin Island inilah Nelson Mandela terinspirasi atas perjuangan Tuan Guru dari Tidore ini dalam melakukan perlawanan.
“Karena terinspirasi dari Tuan Guru Tidore inilah oleh pemerintah Afrika Selatan memberikan gelar kepada beliau sebagai pahlawan nasional,” ujar Sultan Husein Sjah.
Dari cerita tentang sejarah dan kebesaran Kesultanan Tidore yang telah melintasi kekuasaan di berbagai pulau dan daratan, suku, dan ras tersebut mengingatkan kita pentingnya mempelajari sejarah merupakan sebuah keharusan. Dan, dalam konteks ini sejarah tak sekadar mengajarkan kita tentang kearifan. Tapi sejarah juga mempertegas jati diri kita sebagai bangsa yang besar untuk selalu mencintai peradaban masa lalu yang telah ditorehkan oleh para pejuang kita melalui darah dan air mata di Tanah Jazirah Almulk, negerinya para Aulia. (**)