
“Kalibrasi di Desa Budaya”
Oleh:
Hartini Muhammad (Wartawan Terbitmalut.com)
ASA dan Bara di bumi tidore melayangkan pesan begitu mendalam kala ritual demi ritual, tradisi demi tradisi melengkapi kekayaan akan adat dan budaya. Serupa merdunya rebabu, suling disertai tifa dan ukulele, yang setia menjadi instrumen para penari lokal kala menyampaikan pesan lewat gemulainya tubuh setiap gerakan. Atau serupa musim cengkeh, saat wangi serta adanya tradisi cude cengkeh pasca panen menjadikannya akan bernilai karena dilakukan dengan gotong royong. Perjalanan 45 hari mendapati hal baru penuh pengetahuan, dan menjadikannya alasan agar penting untuk diabadikan.
Maitara Utara yang secara administratif masuk dalam kecamatan tidore, kota tidore kepulauan ini juga menjadi salah satunya desa di provinsi maluku utara yang pernah mendapati penghargaan desa budaya oleh kemendikbudristek pada tahun 2021 melalui ditjen kebudayaan dalam program pemajuan kebudayaan desa tahun 2021 sebagaimana yang disebutkan dalam (https://infopublik.id/kategori/nusantara/591278/desa-maitara-utara-mendapat-penghargaan-desa-budaya-dari-kemendikbudristek-ri).
Sajian bait-bait tanpa seni melantunkan kasih menemani perjalanan sepanjang satu bulan lebih menjadi peserta KKN di desa budaya ini. Jabaran pendapat yang termuat di sini bukanlah hanya dari segi penglihatan sebagai seorang mahasiswa yang turut mengikuti KKN dalam mewujudkan dharma perguruan tinggi. Melainkan ini akan menjadi perspektif anak negeri yang beruntung mendapatkan kesempatan untuk kembali beradaptasi dan berupaya membuktikan ,bahwa di era kebebasan individu tanpa menindas yang bisa dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai generasi yang tidak bermoral juga tidak akan membiarkan tradisi budaya yang kental dan masih terawat kini mengalami degradasi.
Banyaknya potensi unggulan maitara utara sendiri bisa dicirikan dengan perikanannya, potensi wisata, potensi budaya dan yang lebih terkenal lagi ialah Amo atau buah Sukun yang tumbuh subur di daerah desa maitara utara. Dari berbagai potensi unggulan tersebut, yang turut melengkapi kesempurnaan desa budaya ini tentu saja adat budaya yang ada, seperti pada terawatnya tradisi Ito Oti serta ritual Oti Domo pada nelayan, adanya tradisi lilian ,tradisi sodorine ena se bido ma gunyihi, atau ritual Dorora Kie se Gam (zikir bersama).
Afeksi 45 Hari
Para penduduk yang juga merupakan warga asli tidore semakin memudahkan masa pengenalan dan adaptasi bersama peserta yang juga didominasi anak lokal dengan waktu KKN yang berlangsung singkat. Penentuan bahwa pelaksanaan KKN akan dilakukan hanya selama 45 hari membawa rasa pesimis dan cemas akan hal yang sangat diinginkan sebelumnya adalah momen yang seharusnya menjadi ruang bermanfaat untuk mengontrol atau membuka diri serta beradaptasi dengan kondisi sosial masyarakat yang berbeda-beda dengan lebih dekat.
Namun, semua kecemasan yang memenuhi kepala akhirnya terbayarkan pasca KKN dengan banyaknya pembelajaran dari waktu yang singkat ini. Perjalanan ini, dimulai dari pertemuan dengan orang tua asuh yang kasih sayangnya persis dengan orang tua kandung para peserta KKN di rumah. Perilaku yang terbuka dan menerima layaknya keluarga semakin menambah keterikatan emosional yang ada.
Tak terkecuali yang dirasakan penulis. Mama, begitu sapaan kami terhadap perempuan muda yang bersedia mengambil ketiga mahasiswi yang berbeda-beda wataknya ini.
Tinggal dengan beliau menjadi satu kebanggan besar bagi kami yang terus ingin mengeksplorasi dunia muda, hal ini kami dapati tatkala mama seringkali menjadi tempat berbagi yang tidak membosankan. Caranya memberi tahu kami juga bisa kami terima tanpa penolakan, tentu saja membuat 45 hari perjalanan tinggal bersama mama, menjadi begitu menyenangkan.
Tinggal di pesisir pantai membuat kami mengenal kehidupan para nelayan, yang juga rupanya banyak dari para pemuda desa maitara utara yang seringkali mengikuti aktivitas nelayan, tak terkecuali mengenal prosesi ito oti hingga oti domo yang menjadi tradisi para nelayan di desa maitara utara lewat penuturan masyarakat setempat. Selain itu, adapun Amo atau buah sukun yang tumbuh subur di pemukiman warga ini, juga wajib menjadi bahan perbincangan bersama salah satu warga di sana.Menurutnya, bahwa biasanya amo akan berbuah sebanyak tiga kali dalam satu tahun di sini, dan sayangnya kedatangan kami tidaklah saat musimnya tiba.
Keseharian yang awalnya terbayang akan membosankan justru diwarnai dengan pendekatan bersama para pemuda pemudi lewat kebiasaan nongkrongnya mereka. Satu persatu teman-teman yang masih malu dan ragu untuk saling tegur sapa pun terpangkas hingga kebablasan, tak heran kebersamaan itu bisa terjalin dengan baik.Pemuda/i desa maitara utara juga menyalurkan kreativitasnya dalam acara bertajuk pagelaran budaya tiap tahunnya yang diusung oleh mereka. Fakta ini juga mengubur anggapan bahwa anak muda era sekarang tidak dapat merawat budaya lewat modernisasi yang merambat.
Tak hanya itu, yang ikut menarik perhatian ialah satu satunya sanggar tari di pulau maitara, tepat berada di desa maitara utara. Sanggar dengan nama cita madani ini juga dikelola dengan baik sehingga semakin menambah ruang anak lokal dalam mengenal seni dengan lebih dekat serta ikut merawat sejarah lewat dunia tari maupun peralatan musiknya seperti tifa dan rebabu.
Walaupun 45 hari kami juga didominasi kebiasaan yang sering keluar dari lokasi KKN dengan banyaknya urgensi masing-masing, namun mempelajari budaya di desa ini tetap menjadi prioritas. Layaknya di lingkungan tempat tinggal kami di tidore, keyakinan masyarakat dalam melakukan sodorine ena se bido ma gunyihi juga dilakukan di desa maitara utara, ialah ritual mengganti pinang dan sirih di setiap fola sou atau rumah obat yang masih terawat.
Lalu, kebiasaan masyarakat yang sudah berada di rumah sebelum waktu sholat magrib,selalu ramai kala melaksanakan ibadah 5 waktu, hingga gotong royong yang luar biasa ini menggambarkan relasi agama dan budaya tidore yang terawat dan masih kental di desa maitara utara. Kami juga tidak melewatkan kebiasaan masyarakat dengan nilai gotong royong yang tinggi ini dalam bentuk tradisi lilian,adalah sebuah kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk merawat hubungan antar sosial masyarakat agar semakin kuat, lilian juga biasa dilakukan kala adanya pernikahan, hajatan naik haji atau hajatan saat ada yang meninggal dunia dan lainnya. Dalam waktu KKN yang singkat itu juga kami barengi dengan berpartisipasi dalam lilian di beberapa hajatan yang berlangsung di sana. Benar saja, ini semakin menambah kedekatan emosional antara kami dan masyarakatnya.
Kontradiksi Dalam Kalibrasi
Siapa yang tidak tahu wisata uang seribu yang berada di desa maitara utara, wisata ini juga menjadi ciri yang menonjol dari desa budaya ini. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa banyaknya sampah di pesisir pantai dan drainase yang ada di desa maitara utara juga menumpuk.
Menurut penuturan salah seorang pemuda di sana, bahwa sampah-sampah tersebut selain dari sampah rumah tangga masyarakat setempat, juga ada sampah kiriman yang sengaja dibuang di dekat pulau maitara. Namun, sebagai masyarakat yang dilayani eksekutif harusnya ada penanganan oleh dinas-dinas terkait, pembentukan TPS (tempat pembuangan sementara) atau pengadaan transportasi menuju TPA (tempat pembuangan akhir) yang mempermudah sampah-sampah di desa maitara utara maupun pulau maitara utara sendiri dapat teratasi. Atau hal solutif lainnya yang menjadikan masyarakat tidak dirugikan pada akhirnya.
Selanjutnya, tidak sedikit masalah kekerasan dan pelecehan juga perlu menjadi bahan edukasi yang harus terus diupayakan lewat hal-hal sederhana agar lebih mudah dipahami. Bukan, ini bukan bermaksud menuduh ataupun menyudutkan masyarakat di desa maitara utara, melainkan kekerasan dan pelecehan yang justru di warnai dalam momen KKN kali ini oleh mahasiswa/i-nya sendiri, entah sebagai pelaku ataupun korban. Namun ini perlu menjadi bagian dalam tulisan ini, sebab siapa saja bisa menjadi pelaku dan siapa saja bisa menjadi korban, tidak mengenal ia laki-laki ataupun perempuan. Maka dari itu, memahami bentuk pelecehan dan kekerasan menjadi penting agar diri kita tidak terkungkung saat mendapati kekerasan maupun pelecehan di diri sendiri atau yang terjadi pada orang lain.
Sama halnya dengan kesetaraan gender pada masyarakatnya. Benar saja, banyak teman diskursus menyatakan tentang progresifitas gerakan perempuan di maluku utara, di mana maluku utara masih sibuk dengan perempuan perokok dan bahkan belum mampu membahas pergerakan perempuan untuk meraih kesetaraan gender.
Namun, alibi yang sering terdengar di masyarakat kita, ialah dalam skala maluku utara kita semua bersaudara. Tapi tetap saja tidak pantas apabila perempuan perokok dianggap rendah dan tunasila, atau sebut saja mereka (para perempuan) yang perokok juga merupakan perempuan murahan, hal ini adalah kesalahan keyakinan/bias paham gender yang sering terjadi, apalagi didorong dengan sandaran agama. Ini tetaplah didasari dengan pemikiran patriarkal atau seksisme, tentu saja bahwa yang perlu dinormalisasi ialah rokok itu salah, dan akan mengganggu kesehatan bukan saja perempuan namun laki-laki. Maka dari itu, pernyataan yang tepat ialah laki-laki atau perempuan harus mengurangi kebiasaan merokok agar terhindar dari segala penyakit yang dipicu sebagai perokok aktif maupun pasif.
Kondisi tersebut yang tergambarkan, bahwa ada juga masyarakat di sana yang masih berpendapat demikian terkait kebiasaan perempuan perokok. Namun, banyak juga dari masyarakat di sana yang kesehariannya memperlihatkan kehidupan kesetaraan antara laki-laki dan perempuannya. Itu terlihat dari minimnya dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan minimnya pemaksaan penempatan perempuan di ruang-ruang domestik hingga tercurahkan lewat kegotong royong yang erat di masyarakat tanpa perlu membanding-bandingkan pekerjaan lewat gendernya.
Selanjutnya, pengaruh penggunaan gawai yang berlebihan di era sekarang ini pada anak-anak maupun orang dewasa juga begitu besar, entah itu negatif maupun positif tapi hal yang juga menjadikan desa budaya ini semakin menenangkan ialah saat permainan lokal pada anak-anak belumlah hilang walaupun kadang kala anak-anak ini juga terdistraksi dengan hadirnya game online. Dari sinilah adanya dorongan untuk menciptakan ruang berbagi edukasi bersama anak-anak usia 3-14 tahun di desa maitara utara lewat gerakan sekolah pesisir.
Dengan aktivitas sederhana seperti membahas pentingnya mengenal sampah organik dan anorganik, mengenal apa itu budaya dan mengedukasikan kekerasan kami menjadikan pertemuan sekolah pesisir ini semakin menyenangkan. Walaupun kewalahan, upaya kami terus dilakukan sebagai fondasi awal membentuk pemahaman anak-anak dengan kebiasaan yang tidak menyimpang.
Bukan hal baru lagi dengan adanya mahasiswa/i KKN yang turun di desa maitara utara, namun keterbukaan masyarakat dalam menerima pendatang seperti kami menjadi hal yang tidak berlangsung di awal kedatangan saja, melainkan sampai pada hari-hari pasca KKN. Ini juga digambarkan saat malam perpisahan kami sebagai mahasiswa/i KKN dengan masyarakat desa maitara utara, acara yang dirudung haru saat orang-orang tua asuh kami beserta pemuda/i dan masyarakat merayakan pertemuan singkat itu bersama-sama. Hingga selepas acara perpisahan, kami diajak ikut serta memeriahkan hajatan pernikahan salah satu pemuda yang juga berlangsung malam itu. Kedekatan yang terjalin, emosional yang terikat, hingga budaya yang abadi lewat ilmu pengetahuan bersama masyarakat menjadi satu ruang pembelajaran yang besar.
Pada akhirnya, kalibrasi kebebasan ini menapaki makna bahwa kehidupan bersosial tidak akan lepas dengan beragam masalah. Hanya saja yang paling penting, ialah kebudayaan yang menjadi identitas dapat terawat, hingga tidak menanggalkan nilai filosofisnya sebagai bentuk keterikatan manusia dengan manusia, pentingnya hubungan manusia dengan alam atau hingga hubungan paling tinggi,ialah antara manusia dengan Sang Pencipta. (**)