Kenali Dan Kritisi Pencalonan Legislatif Pemilu 2024

Oleh

Abidin Mantoti (Praktisi Pemilu)

KOMISI Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai acuan pelaksanaan tahapan pencalonan legislatif Pemilu 2024.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 247 ayat (2) menyebutkan bahwa daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diajukan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari pemungutan suara. Sebagaimana diketahui sesuai PKPU Nomor 3 Tahun 2022, hari pemungutan suara telah ditetapkan jatuh pada tanggal 14 Februari 2024, sehingga pelaksanaan tahapan pencalonan Bakal Calon Anggota Legislatif prosesnya telah dimulai pada bulan Mei hingga November 2023.

Kemudian durasi waktu antara bulan November hingga bulan Januari ialah persiapan percetakan logistik pemilu seperti surat suara dan dokumen administrasi pemilu. Selain itu, pada masa ini juga dilakukan proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang dimulai pada bulan Oktober 2023.

Tahapan pencalonan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemilu tahun 2024 sesuai norma dalam Peraturan KPU dilakukan dalam empat tahap.

Pertama, pengajuan Bakal Calon dilaksanakan selama empat belas hari yakni tanggal 1 hingga 14 Mei 2023. Pengajuan bakal calon oleh partai politik dilakukan dalam dua bentuk yakni melalui Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dengan mengupload persyaratan administrasi yang bersifat digital dan penyampaian dokumen fisik kepada KPU sesuai tingkat lembaga perwakilan. Dokumen persyaratan bakal calon meliputi Surat Pengajuan, Daftar Bakal Calon, dan dokumen persyaratan administrasi bakal calon.

Kedua, verifikasi administrasi dan perbaikan dokumen Bakal Calon yang dilakukan selama 84 hari yakni tanggal 15 Mei hingga 6 Agustus 2023. Verifikasi administrasi dilakukan untuk meneliti kebenaran persyaratan administrasi Bakal Calon dan ke gandaan pencalonan seperti Bakal Calon dicalonkan lebih dari satu partai politik, lembaga perwakilan, atau lebih dari satu daerah pemilihan.

Partai politik dapat melakukan perbaikan terhadap dokumen persyaratan bakal calon jika dinyatakan belum sesuai selama masa tahapan verifikasi administrasi.

Ketiga, Penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS), dilakukan mulai tanggal 6 Agustus hingga 23 September 2023 atau selama 49 hari.

KPU menyusun rancangan DCS berdasarkan hasil verifikasi dokumen persyaratan bakal calon dan partai politik diberi kesempatan untuk dapat mengajukan perubahan rancangan DCS pada masa pencermatan jika terdapat kekeliruan atau perbedaan dalam rancangan, Bakal Calon diganti, atau adanya perpindahan Bakal Calon pada Dapil sesuai pilihan lembaga perwakilan.

Pada tahapan penyusunan DCS masyarakat dapat memberikan masukan dan tanggapan terhadap calon sementara secara tertulis dan KPU wajib meminta klarifikasi kepada partai politik dan memberi kesempatan kepada calon sementara mengklarifikasi masukan dan tanggapan kemudian partai politik menyampaikan hasil klarifikasi kepada KPU melalui Silon. DCS dapat diubah jika hasil klarifikasi terdapat kondisi calon sementara tidak memenuhi syarat, terbukti memalsukan dokumen, atau calon sementara meninggal dunia.

Keempat, Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) dalam rentang waktu mulai tanggal 24 September hingga 3 November 2023 atau selama 41 hari. KPU menyusun rancangan DCT berdasarkan DCS dan hasil verifikasi administrasi dokumen persyaratan pengganti calon sementara. Pada masa ini, partai politik diberi kesempatan untuk melakukan pencermatan rancangan DCT dan dapat mengajukan perubahan rancangan DCT jika terdapat kekeliruan, calon sementara diganti, atau adanya perpindahan Dapil terhadap calon sementara.

KPU dapat membatalkan calon tetap jika meninggal dunia, terbukti berdasarkan putusan pengadilan melakukan pelanggaran larangan kampanye, terbukti memalsukan dokumen, tidak lagi memenuhi syarat karena terbukti melakukan tindak pidana, atau diberhentikan sebagai anggota partai politik.

Pencalonan merupakan salah satu perangkat teknis atau variabel penting dalam sistem pemilu. Surbakti et al (2011) dan Liando et al (2019) mengemukakan enam perangkat teknis sistem pemilu yaitu besaran daerah pemilihan (district magnitude), pencalonan, pemberian suara, formula pemilihan dan penentuan calon terpilih, ambang batas (parliamentary threshold), dan penjadwalan penyelenggaraan pemilu. Namun, hanya empat perangkat teknis yang merupakan unsur mutlak (constitutive parts of electoral system) karena sangat esensial dalam menentukan pemberian suara dan konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara.

Keempat perangkat teknis tersebut adalah besaran dapil, peserta pemilu dan pencalonan, model penyuaraan, serta formula pemilihan dan penetapan calon.

Mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 168 ayat (2) pemilu legislatif (DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) menggunakan sistem proporsional terbuka. Menurut Liando et al (2019), metode pencalonan dalam sistem proporsional terbuka yaitu partai politik menyediakan daftar nama calon dan pemilih memberikan suara kepada calon sesuai preferensi politiknya.

Jika hasil akumulasi suara partai politik mendapat alokasi kursi, maka calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan menduduki kursi tersebut.

Partai politik memang diberi keistimewaan menyediakan daftar nama calon legislatif sesuai tingkat lembaga perwakilan pada semua Dapil. Namun, disinilah sumber persoalannya.

Pertanyaan yang paling mendasar dari proses rekrutmen dan seleksi Bakal Calon Legislatif ialah siapa yang direkrut dan diseleksi? Apakah dilakukan secara tertutup atau terbuka? Metode seperti apa yang digunakan setiap partai politik dalam melakukan rekrutmen Bakal Calon Legislatif?. Mengenai mekanisme seleksi Bakal Calon, secara konseptual Hazan dan Rahat (2010) mengemukakan empat metode seleksi yaitu metode sederhana, metode campuran, metode bertingkat dan metode pembobotan.

Pada metode seleksi sederhana hanya ada satu pihak yang melakukan seleksi seluruh kandidat dan prosesnya dapat dilakukan secara terbuka dan tertutup. Pihak yang menyeleksi berupa pemilih, anggota partai, perwakilan partai, elit partai, dan pimpinan tunggal. Proses seleksi yang dilakukan pemilih adalah yang paling terbuka dan jika dilakukan oleh pimpinan tunggal adalah yang paling tertutup.

Metode campuran melibatkan beberapa penyeleksi dan hasilnya kemudian digabung menjadi kandidat partai. Metode bertingkat juga melibatkan beberapa penyeleksi, satu penyeleksi melakukan seleksi terhadap Bakal Calon yang sudah dihasilkan oleh selectorate (penyeleksi) lainnya. Metode pembobotan dilakukan oleh dua penyeleksi berbeda untuk menilai semua Bakal Calon, kemudian dipertimbangkan mana yang memiliki bobot nilai tinggi.

Jika melihat kembali proses kondisi pada pelaksanaan pemilu 2019, mayoritas partai politik menggunakan metode sederhana sehingga bisa disebut sangat eksklusif atau tertutup. Elit partai politik di tingkat pusat memiliki kewenangan mutlak yang menentukan dalam proses rekrutmen Bakal Calon Legislatif. Walaupun pimpinan partai tingkat provinsi atau kabupaten/kota dilibatkan, faktanya hanya memiliki wewenang mengajukan usulan nama Bakal Calon dalam proses penjaringan atau memberikan pertimbangan atas daftar nama Bakal Calon yang telah disusun penyeleksi pusat.

Bahkan dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Legislatif Pemilu 2024 pun memberikan penegasan yang sama, pencalonan dikembalikan pada kewenangan pimpinan pusat partai politik. Lalu, dari manakah sumber rekrutmen Bakal Calon legislatif? Menurut Wawan Ichwanudin (2021), sumber rekrutmen Bakal Calon dapat diklasifikasikan menjadi empat.

Pertama, rekrutmen Bakal Calon umumnya adalah kader internal namun tidak menutup kemungkinan sejumlah tokoh masyarakat atau pimpinan ormas yang memiliki massa serta memenuhi kualifikasi dan persyaratan pencalegan.

Kedua, calon incambent juga memiliki potensi untuk dimasukkan dalam daftar calon karena telah terbukti mampu memperoleh suara terbanyak pada pemilu sebelumnya, apalagi calon petahana tersebut memiliki reputasi dan kinerja yang baik selama di lembaga legislatif.

Ketiga, sumber rekrutmen Bakal Calon berikutnya ialah selebriti dan mantan pejabat. Para selebritas merupakan figure yang mudah dikenali masyarakat pemilih karena sering tampil di berbagai media. Mereka cenderung dicalonkan pada lembaga perwakilan tingkat pusat atau kepada daerah. Mantan pejabat juga memiliki peluang besar untuk masuk dalam daftar nama Bakal Calon, umumnya adalah mantan kepala daerah atau mantan calon dalam Pilkada.

Keempat, kekerabatan atau bisa disebut politik dinasti. Keluarga pejabat juga memiliki peluang yang sama, biasanya istri, saudara, mantu, dan anak kepala daerah yang pastinya didukung penuh oleh sang kepala daerah. Hal ini dianggap lumrah, karena pada sejumlah partai politik, dinasti politik tidak bisa dihilangkan baik pada kepengurusan tingkat pusat hingga daerah.

Masyarakat pemilih perlu mengenali dan mengkritisi proses pencalonan Bakal Calon legislatif pemilu 2024. Belajar dari pengalaman dan kinerja Anggota DPR dan DPRD hasil pemilu sebelumnya banyak dari mereka diciduk KPK, memiliki krisis moral, rapat paripurna hanya dihadiri segelintir orang, serta kualitas regulasi yang dihasilkan buruk tidak sesuai ekspektasi.

Menurut Dosen Kepemiluan Unsrat Ferry Daud Liando, ketika menjadi narasumber dalam Webinar yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) beberapa waktu lalu, bahwa terdapat sejumlah hal yang menjadi penyebabnya.

Pertama, belum optimalnya sistem rekrutmen dan seleksi Bakal Calon. Proses seleksi dilakukan secara tertutup dan secara tiba-tiba calon dimunculkan sebagai Bakal Calon. Masyarakat pemilih umumnya tidak tahu asal muasal apakah dia anggota parpol atau tidak, latar belakang tidak jelas. Hal ini bisa disebabkan karena UU partai politik maupun UU Pemilu belum mengatur secara detail mengenai proses rekrutmen Bakal Calon Legislatif.

Kedua, buruknya kinerja kaderisasi partai politik. Partai politik merupakan institusi publik karena saat ini partai politik juga menerima pembiayaan dari negara sehingga harus dikelola secara transparan dan akuntabel terutama dalam proses rekrutmen Bakal Calon. Apakah parpol wajib mempertanggungjawabkan mekanisme kaderisasi, sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban.

Ketiga, pragmatisme pemilih. Proses rekrutmen Bakal Calon seharusnya dikawal secara ketat oleh semua pihak khususnya masyarakat pemilih. Regulasi pemilu bahkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberi masukan dan tanggapan mengenai daftar nama Bakal Calon yang telah disampaikan partai politik dan diumumkan oleh KPU pada setiap tingkatan lembaga perwakilan.

Sesuai PKPU Pencalonan Pemilu 2024, masa untuk masukan dan tanggapan dapat dilakukan pada masa rancangan DCS. Namun, umumnya dalam proses pencalonan, masyarakat kita sering bersikap pragmatis, bisa jadi karena Bakal Calon memiliki kedekatan emosional atau karena memang masyarakat kita bersikap acuh dan tidak mau tahu menahu mengenai pencalonan.

Menurut Liando, pentingnya DCS untuk dikritisi oleh semua pihak karena tiga hal berikut. Pertama, untuk kepentingan konstitusional. UUD 1945 menyatakan pemilu itu sarana kedaulatan rakyat. Rakyat berhak terlibat dalam pencalonan dan prosesnya oleh partai politik harus dilakukan secara transparan. Kedua, kepentingan politik. Apakah calon merupakan representasi warga negara, seperti 30 persen keterwakilan perempuan itu dipaksakan yang tentunya tidak memiliki kemampuan memperjuangkan kepentingan publik. Apakah calon tersebut memberi nilai manfaat bagi yang diwakili? Ketiga, kepentingan administratif, dalam hal membantu KPU perihal kebenaran identitas calon terhadap dokumen yang diajukan.

Partai politik diberi keistimewaan oleh konstitusi seperti norma dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menjadi peserta pemilu sebagai representasi politik dan sarana yang digunakan rakyat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga menjadi jembatan antara masyarakat dan negara. Partai politik satu-satunya wadah atau lembaga politik yang dapat melakukan proses kondisi atau pencalonan dalam pemilu, memiliki tanggung jawab untuk melahirkan kader-kader calon pejabat negara yang representatif substantif (memiliki gagasan kritis dan inovatif) dan juga representatif deskriptif (yang mewakili aspirasi dan kepentingan suatu kelompok masyarakat) di lembaga perwakilan politik. (**) 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *