Literasi Idul Fitri 

Oleh

Arafik A. Rahman (Penulis Buku)

LEBARAN, tak sekedar euforia mengucapkan “Minal Aidin Wal Faidzin” di Postulat-postulat  Facebook, yang bisa jadi tanpa diikuti oleh hati yang tulus. Juga tak sekedar jabat tangan, tetapi esoknya bertengkar lagi, apalagi sekadar pergi liburan ke tempat-tempat wisata misalnya. 

Entah apa, karena yang dimaknai adalah libur panjang? Ataukah momentum hura-hura?. Apalagi di Indonesia dan Maluku Utara, dalam suasana lebaran kebanyakan orang pergi ke tempat-tempat wisata. Padahal yang harus dilakukan yaitu mengunjungi sahabat kerabat dan keluarga. Juga untuk memberi bantuan kepada orang fakir, miskin dan yatim-piatu begitu perintahnya. Jangan kita samakan dengan liburan yang lainnya.

Yang beginian mesti diluruskan dalam menafsirkan liburan Idul Fitri. Sebab sejatinya, libur disaat lebaran itu tak sekedar diberikan oleh negara atau perusahaan, tetapi perintah Allah SWT agar meninggalkan urusan duniawi untuk beribadah kepadanya dalam beberapa hari yang disebut lebaran. Karena dalam konteks religiusitas, Idul Fitri dimaknai sebagai hari yang sakral “Peribadatan“. 

Kalau hari Jum’at adalah hari raya bagi orang fakir dan miskin, maka tentu Idul Fitri mengandung makna lebih dari hari Jum’at. Bahwa kurang lebih 3 hari umat muslim melaksanakan ibadah. Suatu ketika ada sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, amalan apa yang paling utama, di hari raya idul Fitri?.

Jawabnya, untuk menggembirakan hati manusia. Memberi makanlah yang lapar, membantu lah yang menderita, meringankan kesedihan yang berduka dan menghilangkan kesalahan yang terluka (memaafkan). 

Selebihnya bisa dipandang sebagai kemenangan atas ketaatan iman dalam melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh, mendirikan shalat, melawan hawa nafsu, berbuat amalan dan menunaikan Zakat fitrah dan Mal. 

Kesemuanya tak lain untuk kembali kepada kefitrahan manusia, sesuai dengan pesan Al Qur’an surat Ar Rum ayat 30. Allah  SWT, berfirman “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”.

Disisi lain, secara historik idul Fitri adalah Hari yang heroik dan monumental bagi umat Islam atas kemenangan Perang Badar kala itu. Sebab, Rasulullah saw dan umat Islam pertama kali menggelar perayaan hari raya Idul Fitri, usai memenangkan perang Badar tepatnya pada tahun kedua Hijriyah (624 M). Perayaan itu, berlangsung dengan penuh hikmat dan suka cita. Baca, buku yang berjudul “How Did the Prophet & His Companions Celebrate Eid?”.

Karena itu, perayaan Idul Fitri mempunyai makna dan spirit tersendiri. Berbeda dari perayaan budaya, festival wisata, city partai, traveling, dancing dan sebagainya. Mungkin bagi wisatawan asing, hari raya adalah kesempatan untuk menikmati keramaian, party-party, bahkan ada sebagian orang yang tenggelam dalam kesenangan duniawi dan hanyut bersama maksiat. Namun bagi Islam tidak sedemikian itu! 

Menurut, Syeikh Muhammad Al-Jibaly “Bagian utama dari perayaan tersebut bukanlah makan atau minum – melainkan, itu adalah doa yang menyatukan umat Islam untuk mengingat karunia Allah dan merayakan kemuliaan dan kebesaran-Nya.

Dengan begitu, Idul Fitri bukanlah Hang out untuk berlibur ke tempat wisata yang sedemikian itu adalah budaya Eropa. Etiknya bisa begitu asalkan yang dibawa adalah anak-anak yatim piatu, orang fakir dan miskin untuk membuat mereka senang. Sebab kesenangan dan kebahagiaan yang dimaksud adalah bernilai ibadah kepada Allah SWT.

Seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, suatu saat setelah turun shalat idul Fitri. Dalam perjalanan kembali ke rumah, Ia menemukan “Zubair Bin Saghir” seorang anak kecil,  yang duduk sendirian di pinggir jalan. Zubair menangis dan terlihat sangat sedih. Nabi menepuk pundaknya dan bertanya ‘mengapa kamu menangis?’ Tanpa menengok ke arah nabi ‘Tolong tinggalkan aku sendiri’ isak Jubair. Begitulah kesedihannya dengan menangis tersedu-sedu.

Nabi yang makin mendekat mengusap rambut Jubair dan bertanya lagi mengapa kamu menangis.? Kali ini Jubair meresponnya, ‘Ayah saya syahid berperang, dan sekarang ibu saya telah menikah lagi dan ayah tiri saya tidak ingin saya tinggal di rumah lagi. Hari ini adalah Idul Fitri, semua orang senang, punya baju baru dan makanan enak, tapi saya tidak punya baju kecuali yang saya kenakan. Saya tidak punya makanan dan saya bahkan tidak punya tempat tinggal.

Nabi berkata kepadanya, ‘Aku tahu bagaimana perasaanmu, aku kehilangan ibu dan ayahku ketika aku masih kecil.’ Bocah itu terkejut mendengar bahwa itu adalah seorang yatim piatu yang menghiburnya, dan ketika dia melihat ke atas Jubair sangat terkejut. Ternyata itu adalah Nabi Muhammad, orang yang paling dicintai di seluruh dunia. Lalu bocah itu, segera berdiri dengan sigap penuh hormat.

Nabi berkata kepadanya ‘Jika aku menjadi ayah barumu, Aisyah menjadi ibu barumu, dan Fatimah menjadi adikmu, apakah itu akan membuatmu merasa bahagia?’. ‘Oh ya, itu akan menjadi hal terbaik di dunia!’ jawab anak itu dengan senyuman. Nabi membawanya pulang, memberinya pakaian baru dan makanan enak di hari Idul Fitri yang indah itu. Begitu cerita kebaikan yang dahsyat oleh nabi Muhammad Saw terhadap Jubair Bin Saghir. (**) 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *