“Loloda, Ngara Mabeno Yang Terlupakan”

Oleh :

Ahmad Ibrahim (Wartawan Senior) 

 

ITULAH judul sebuah buku yang bercerita seputar sejarah moyang masa lalu pada sebuah kampung nun di Kepulauan Pulau Doi, Kecamatan Loloda Utara, Provinsi Maluku Utara.

Buku ini juga memuat lembaran nasab (silsilah) mereka yang menjadi pegangan yang ditulis oleh seorang ulama besar penyebar agama di Loloda Kepulauan di Maluku Utara yakni Alhabib Muhammad Bin Abdurrahman Bin Hasyim Albaar Dagasuli 150 tahun lalu itu.

Silsilah ini telah terangkum dalam buku yang ditulis oleh ayah saya almarhum Hi.Djafar Ibrahim Kotadadi berjudul: Loloda, Ngara Mabeno yang Terlupakan. Buku yang diterbitkan Penerbit WR Yogyakarta, Oktober 2014, dengan ISBN: 978-602-1384-55-8 ini memuat seputar sejarah moyang mereka di sebuah distrik di utara yang sangat dihormati.

Dari Loloda inilah kita mengenal Horukie, puteri dari Jazirah Utara, Halmahera. Ia sang pendekar yang diberi nama oleh kedaton yang melahirkan imperium besar bernama Ternate. Sebagaimana juga Sasa, Depana, dan Robodoi sang penguasa laut itu — Loloda menjadi pilar penting manakala bajak-bajak laut tunduk kepadanya.

Loloda sendiri sudah dikenal dalam sejarah bahkan dalam beberapa literatur disebut sebagai salah satu kerajaan tertua di Maluku. Inilah wilayah yang pada zaman keemasan imperium Ternate-Tidore yang dalam Encyclopaedy van Nederland Indie 1918 disebut sebagai “Gerbang Maluku” dengan julukan: Loloda Ngara Mabeno, penjaga pintu utara, itu.

Sayang nama Loloda akhirnya tenggelam karena persoalan hegemoni di antara kerajaan di Maluku. Dalam disertasinya: Loloda dalam Penataan Maluku Utara Masa Kolonial Belanda 1817-1915, sebuah Kajian Sejarah Politik Pemerintahan Lokal di Maluku Utara sejarawan Universitas Khairun (Unkhair) Ternate DR. Abdul Rahman mengungkapkan Loloda merupakan sebuah kerajaan tertua di kawasan laut dan Kepulauan Maluku.

Kekuasaan Loloda sendiri meliputi seluruh pesisir Barat Pulau Halmahera di bagian Barat Laut dan di bagian Barat Daya Halmahera hingga wilayah Timur dan Tengah Halmahera. Bahkan berdasarkan analisis sumber dan data yang dilakukan DR. Abdul Rahman ini wilayah kekuasaan Loloda juga mencakup Sulawesi Utara.

Diakui, terdapat hubungan genealogis, sosiologis, politik, dan kultural antara Loloda dari Halmahera Utara dan Barat dan sekitarnya dengan Sulawesi Utara khususnya Bolaang Mongondow. “Baik dalam konteks tradisi lisan maupun dalam kaitannya dengan sumber, bahan, dan data kolonial. 

Dalam studinya itu, disebutkan Loloda telah melakukan penjelajahan ke kawasan laut dan Kepulauan Sulawesi, khususnya di wilayah pesisir pantai Timur Sulawesi bagian Utara paling tidak sejak akhir abad ke-14 atau sekitar tahun 1384. Mereka ini berdiaspora baik dalam konteks sosiologis, kultural, politis, dan tentu saja ekonomi. 

Mengenai Loloda dan nama Loloda Mokoagow, memang ada hubungan, tetapi sejauh analisis sumber dan data yang dia lakukan tampaknya bukan merupakan hubungan genealogis (keturunan) tetapi hubungan politik dan kultural. 

Secara kultural, nama Loloda pada Loloda Mokoagow lebih pada hubungan kultural. Bahkan nama bandara Boloang Mongondow pun diberi nama Bandara Loloda Mokoagow. Loloda itu bermakna sakti, hebat, tangguh, dan sangat sulit terkalahkan dalam perang laut maupun darat. Jadi, secara politik dan kultural nama Loloda digunakan untuk memperkuat kekuatan dan kharisma kepemimpinan serta kekuasaan.

Pada saat itu penduduk atau orang-orang Loloda dari Halmahera dapat dengan mudah berdiaspora di Bolmong pada khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya dengan persebaran yang sangat luas di kawasan itu termasuk Manado. Dalam konteks sosiologis, mobilitas sosial orang Loloda termasuk sangat tinggi di kawasan laut dan Kepulauan Sulawesi bahkan jejak-jejaknya masih dapat terlihat sampai sekarang.

Dia tidak membantah jika orang-orang Loloda telah berdiaspora secara genealogis (berketurunan/kawin mawin) dengan penduduk pribumi Sulawesi Utara misalnya orang-orang Bolmong, Manado, Sangir, dan sebagainya dari abad ke-14 hingga sekarang memang benar. Itu sebabnya sehingga dapat dikatakan bahwa Loloda memang “hilang” di Halmahera, Maluku Utara, tetapi sesungguhnya Loloda “muncul” di Sulawesi Utara dengan diaspora politik dan kultural bahkan meluas hingga ke wilayah lain seperti Sulawesi Tengah, Luwuk, dan Banggai.

Robodoi Dan Bajak Laut

Dalam beberapa literatur kolonial Belanda, Robodoi selalu dikatakan dari Tobelo dan dianggap sebagai pemimpin bajak laut Tobelo-Galela yang ditakuti pemerintah kolonial. Namun, berdasarkan studi yang dilakukannya ia menemukan ada perbedaan antara tradisi lisan masyarakat lokal dan dokumen-dokumen kolonial yang ada. Karena, bajak laut yang beroperasi di kawasan laut dan kepulauan Maluku tidak selalu orang Tobelo-Galela, tetapi sesungguhnya terdapat pula banyak orang Loloda. Dan orang-orang dari utara dan barat Halmahera.

Di sinilah Robodoi muncul yang tidak terlepas dari kata “Doi” yang menjadi salah satu nama pulau di Kepulauan Loloda Utara sebagaimana terdapat dalam peta Indonesia bernama Pulau Doi. Robodoi juga dalam literatur disebut sebagai Jouhukum Doi atau penasehat hukum laut dari Pulau Doi yang dipakai oleh Kesultanan Tidore.

Kemudian, generalisasi untuk semua bajak laut dari Halmahera yang beroperasi di kawasan laut dan kepulauan Maluku dan perairan di kawasan laut dan Kepulauan Sulawesi adalah orang-orang Tobelo-Galela yang banyak disinggung oleh AB. Lapian seorang sejarawan maritim Indonesia terkemuka nampaknya perlu ditinjau kembali.

Sebab, jika dilihat secara geografis wilayah Maluku bagian utara maka sesungguhnya potensi kemunculan gerakan-gerakan bajak laut di kawasan itu adalah pada pesisir barat Halmahera, baik di barat daya maupun di barat laut. Di situ ada Loloda. Sebuah negeri teluk yang di sekitarnya diliputi oleh daerah pesisir, sungai, tanjung, kepulauan, dan teluk. Di mana menjadi sarang-sarang kemunculan pergerakan bajak laut yang umumnya selalu menentang dan menyerang kapal api kolonial Belanda yang selalu berupaya memblokade dan memonopoli jalur-jalur ekonomi maritim di Maluku.

Dalam studi yang dilakukan tentang bajak laut yang ditulis oleh Bleeker seorang penulis Belanda abad ke-19 banyak menyebutkan peranan Loloda dan orang-orangnya yang dalam kaitannya dengan aksi-aksi bajak laut di kawasan laut dan Kepulauan Maluku mengungkapkan peranan mereka memblokade hegemoni Belanda pada jalur maritim di Maluku itu.

Buku itu, sesungguhnya jika saya analisis juga dipakai dan dikutip bahkan diterjemahkan pula oleh sejarawan A.B. Lapian dalam disertasinya berjudul: Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad ke-19.

Tetapi nampak dari hasil bacaan saya, Lapian tidak mencantumkan karya Bleeker yang menarik itu ke dalam catatan kaki dan daftar pustakanya. Saya tak tahu alasannya mengapa AB. Lapian tidak mencantumkan itu. (**) 

ads
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *