Modus Pelanggaran Etika Penyelenggara Pemilu

Oleh

Abidin Mantoti (Praktisi Pemilu)

PENYELENGGARA pemilu merupakan badan atau lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan seluruh tahapan pemilu dalam rangka sirkulasi kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Konstitusi kita menyebutkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu terdiri atas tiga bagian yaitu KPU, Bawaslu dan DKPP.

KPU secara teknis melaksanakan seluruh tahapan, Bawaslu mengawasi pelaksanaannya, dan DKPP bertugas menegakkan kode etik penyelenggara. Sehingga bahasan mengenai pelanggaran etika sejatinya tidak hanya dimaksudkan atau ditujukan pada salah satu dari tiga lembaga penyelenggara pemilu. Pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu itu bisa dilakukan oleh KPU, Bawaslu dan DKPP.

Pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu bisa terjadi pada sebagian atau keseluruhan tahapan pemilu. Pelanggaran bisa dilakukan pada saat penyusunan peraturan, pendaftaran peserta pemilu, rancangan daerah pemilihan, pendaftaran dan, sehingga menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.

Penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas terikat dengan kode etik yang menjadi standar perilaku dan sikap sejak proses tahapan hingga penetapan hasil pemilu. Kode etik menjadi norma yang dijadikan oleh stakeholders maupun publik dalam menilai tingkah laku dan perkataan penyelenggara pemilu.

Disisi lain, ketaatan pada etika akan menumbuhkan sikap kedisiplinan penyelenggara pemilu pada aturan hukum kepemiluan, sehingga pemilu berkualitas dan berintegirtas sesuai prinsip demokratik dapat terwujud.

Kode etik penyelenggara pemilu seperti tertuang dalam Keputusan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP Nomor 13 Tahun 2012 menyebutkan empat norma atau standar kode etik penyelenggara pemilu yaitu ketaatan pada Pancasila dan UUD 1945, ketetapan MPR dan Undang-Undang, sumpah atau janji jabatan sebagai penyelenggara pemilu, dan asas penyelenggara pemilu seperti mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas.

Norma tersebut merupakan tata nilai bagi penyelenggara pemilu yang dapat dijadikan standar penilaian oleh semua pihak. Publik dapat melaporkan pelanggaran kode etik, jika sikap dan perilaku penyelenggara pemilu telah melanggar dari kode etik dimaksud ke lembaga yang menangani pelanggaran etika yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Secara konseptual, pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu dapat digolongkan menjadi tiga bagian (Saleh dkk. 2017). Pertama, pelanggaran formal dan materil yang merujuk pada rumusan perbuatan yang dilarang atau tidak diperkenankan menurut kode etik. Contoh asas mandiri melarang penyelenggara untuk berpihak dan wajib memperlakukan sama setiap peserta pemilu. Pelanggaran materil merujuk pada dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran kode etik seperti melanggar asas kemandirian yang berakibat keberpihakan penyelenggara yang menguntungkan peserta pemilu tertentu.

Kedua, Pelanggaran yang bersifat commision (aktif melakukan) dan bersifat omission (melanggar dengan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan). Commision merujuk pada perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh penyelenggara yang secara nyata dilarang oleh hukum dan kode etik penyelenggara pemilu. Ommision merujuk pada sikap dan tindakan pembiaran yang dilakukan penyelenggara pemilu terhadap suatu keadaan dan perbuatan yang diketahui sebagai pelanggaran hukum pemilu dan kode etik.

Ketiga, Pelanggaran disengaja (dolus) dan pelanggaran karena kealpaan (culpa). Dolus adalah perbuatan pelanggaran yang disengaja oleh penyelenggara, sedangkan culpa adalah pelanggaran yang didasarkan pada kehendak untuk melakukan perbuatan namun karena kekurangan hati-hatian/teliti sehingga menyebabkan kerugian bagi peserta pemilu.

Masyarakat perlu mengenali bentuk dan modus pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Secara lebih rinci modus pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu dapat diketahui melalui sejumlah modus berikut (Sardini. 2015).

Pertama, vote manipulation yaitu mengurangi, menambahkan atau memindahkan perolehan suara dari suatu peserta pemilu ke peserta pemilu lain. Modus ini umumnya terjadi saat penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) oleh oknum penyelenggara, dilakukan dengan cara merusak surat suara menggunakan kuku mengakibatkan terdapat dua tanda coblos sehingga surat suara menjadi tidak sah. Hal ini menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.

Modus tersebut bisa juga terjadi saat penghitungan suara, ketika ketua KPPS menyebut nomor urut dan nama Caleg yang bukan dipilih oleh pemilih atau bisa juga terjadi saat pencatatan administrasi hasil penghitungan suara dalam berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara dengan cara memindahkan suara antar Caleg dalam satu partai yang sama. Hal ini dapat terjadi ketika proses penghitungan suara hanya dihadiri oleh sejumlah saksi dan pengawas TPS.

Kedua, bribery of officials yaitu pemberian dalam bentuk uang, barang, janji khusus dengan maksud memenuhi kepentingan pemberinya dalam suatu pemilu. Pemberian uang atau barang dapat merubah pendirian penyelenggara apalagi diiming-imingi dengan janji teretentu misalnya proyek atau jabatan di birokrasi.

Ketiga, un equal treatment yaitu perlakuan yang tidak sama kepada peserta pemilu dan stakeholders.

Keempat, infringements of the right to vote yaitu pelanggaran terhadap hak memilih warga negara dalam pemilu.

Kelima, vote and duty secrecy yaitu memberitahukan secara terbuka pilihan politiknya kepada orang atau pemilih lain. Misalnya, komisioner, staf sekretariat atau jajaran badan adhoc dibawahnya, menyampaikan secara terbuka kepada orang lain tentang pilihan politiknya,

Keenam, abuse of power yaitu memanfaatkan posisi jabatan dan pengaruhnya baik atas dasar kekeluargaan, otoritas tradisional atau pekerjaan, untuk mempengaruhi pemilih lain atau penyelenggara pemilu demi mendapatkan keuntungan.

Ketujuh, conflict of interest yaitu benturan kepentingan antara sesama penyelenggara pemilu. Konflik kepentingan bisa terjadi dalam satu lembaga penyelenggara pemilu misalnya antara komisioner dengan jajaran sekretariat KPU, atau dapat terjadi antar lembaga penyelenggara seperti KPU berhadap-hadapan dengan Bawaslu. Pada sejumlah kasus, lembaga penyelenggara pemilu melaporkan lembaga penyelengara pemilu lainnya ke DKPP, umumnya antara Bawaslu dan KPU pada jajaran ditingkat bawah, menunjukkan keberpihakan karena konflik kepentingan.

Kedelapan, sloppy work of election process yaitu ketidakcermatan, ketidaktepatan, ketidakaturan atau kesalahan dalam proses pemilu berkaitan dengan implementasi regulasi teknis di lapangan. Bisa jadi penyebabnya ialah salah memahami petunjuk teknis, kompleksnya administrasi pemilu, atau kapabilitas penyelenggara pemilu yang tidak memadai. Hal ini biasanya terjadi ditingkat TPS saat pengadministrasian hasil pemilu.

Kesembilan, intimidation and violence yaitu melakukan tindakan kekerasan atau intimidasi secara fisik maupun mental. Kesepuluh, broken and breaking in the laws yaitu pelanggaran dengan tindakan atau terlibat dalam pelanggaran hukum.

Kesebelas, abesnce of effective legal remedies yaitu kesalahan yang ditoleransi secara manusiawi sejauh tidak berakibat rusaknya integritas penyelenggara pemilu, juga hancurnya independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu.

Kedua belas, the fraud of voting day yaitu kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyelengara pemilu pada hari pemungutan dan penghitungan suara. Ketiga belas, destroying neutrality, impartiality, independent yaitu bertindak tidak netral dan memihak kepada peserta pemilu atau partai politik tertentu.

Selama ini penyelenggara pemilu dituntut untuk berintegritas dengan mendepankan asas pemilu demokratik seperti mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas. Bukti komitmen pada asas tersebut kita dapati disetiap bahasan awal regulasi teknis yang berkaitan dengan tahapan pemilu mempertegas pentingnya penyelenggara berdiri lurus sesuai asas pemilu demi terwujudnya proses dan hasil pemilu yang konstitusional. Asas pemilu menjadi standar etik bagi penyelenggara pemilu sehingga electoral process dan electoral integrity berjalan bersama sesuai norma hukum kepemiluan.

Pelaksanaan pemilu pada sejumlah tahapan masih memberi ruang adanya pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara, pada akhirnya mendegradasi tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggara maupun hasil pemilu. Dalam banyak kasus yang diputuskan DKPP, pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu mayoritas melibatkan peserta pemilu. Fakta demikian menjadi problem tersendiri dimana UU Pemilu tidak mengatur mengenai etika peserta pemilu.

Pemilu berintegritas tidak dapat terwujud dengan baik jika hanya mendorong penyelenggara pemilu melaksanakan asas pemilu demokratik tanpa mengupayakan peserta pemilu melakukan hal serupa. Karena sumber pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu mayoritas dipengaruhi oleh kepentingan politik dari peserta pemilu.  (**) 

 

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *