
“Simfoni Geopolitik: Ketika Amerika Meminta Iran Menunduk”
Oleh: Arafik A Rahman
“When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace.” Ketika kekuatan cinta mengalahkan cinta pada kekuasaan, dunia akan mengenal perdamaian. Jimi Hendrix, Bahwa dunia akan damai jika manusia lebih memilih kasih sayang ketimbang ambisi dan dominasi.
Ini seru mari kita berbincang tentang Amerika meminta Iran untuk tunduk terhadap Israel. Daripada mikirin nikel, BBM atau lampu dan air mati?. Sesekali rehat dululah sejenak sambil ngopi. Di tengah arus kemajuan teknologi, dunia seakan membawa kita kedalam lensa televisi.
Realitas seperti film, fakta seakan mimpi dalam tidur, itulah perang yang terjadi di Timur Tengah Iran vs Israel. Konflik yang berakar pada sejarah panjang: Amerika kembali memainkan peran klasiknya: wasit sekaligus pemain.
Dalam situasi yang mencekam Iran vs Israel, Washington tampaknya tengah mengembuskan tekanan halus kepada Teheran untuk menundukkan kepala. Namun, apakah menyerah adalah jalan menuju damai? Ataukah itu hanya sebuah sandiwara geopolitik; pemain tapi berlaga wasit.
Desakan Amerika agar Iran mengendurkan sikap terhadap Israel, pasca serangan udara dan serangan balik drone yang saling membombardir di musim semi 2025, bukanlah sekadar ajakan damai, melainkan upaya menyeimbangkan ulang dominasi kawasan dengan tetap menjaga superioritas Tel Aviv.
Dr. Trita Parsi, pendiri National Iranian American Council (NIAC), menulis dalam Foreign Affairs (2024): “Perdamaian yang dipaksakan adalah penghinaan terselubung, sebab ia memaksa satu pihak mengakui narasi lawannya tanpa ruang untuk penyembuhan luka historisnya.” Di mata Parsi, tekanan Amerika bukan upaya netral diplomatik, melainkan bagian dari patronase historis yang telah lama mencengkram Timur Tengah.
Di mana Israel adalah sekutu strategis dan Iran adalah ancaman potensial yang harus dijinakkan, bukan dipahami. Data dari Amnesty International (2025) mencatat, selama konflik berskala terbatas April–Mei 2025, lebih dari 430 warga sipil tewas di wilayah Iran akibat serangan drone dan rudal berpemandu presisi. Sementara di sisi Israel, sekitar 58 korban jiwa tercatat, sebagian besar di wilayah utara akibat serangan balasan.
Ketimpangan angka ini bukan sekadar statistik: ia adalah manifestasi ketimpangan narasi global, di mana nyawa menjadi angka, dan penderitaan menjadi bagian dari “strategi keamanan”. Ironisnya, seruan Amerika kepada Iran agar “menahan diri” dan “menghindari eskalasi” seperti yang dikutip dari pernyataan Departemen Luar Negeri AS pada 3 Mei 2025, justru dibarengi dengan pengiriman tambahan senjata pertahanan udara ke Israel.
Di titik ini, diplomasi berubah menjadi pementasan ironi: sebuah simfoni yang dimainkan dengan dawai kekuasaan dan alat musik yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berada di kursi VVIP geopolitik. lalu dimana posisi keadilan di meja diplomasi? Jika Amerika ingin menjadi penjaga perdamaian yang otentik, maka ia harus membebaskan dirinya dari belenggu keberpihakan strategis.
Perdamaian tak lahir dari tekanan sepihak, apalagi dari desakan untuk menyerah. Ia lahir dari keberanian untuk mendengar suara yang selama ini dikalahkan suara dari reruntuhan, suara dari embargo, suara dari generasi yang tumbuh dalam bayang-bayang perang dan propaganda.
Dalam dunia yang semakin pintar menyembunyikan ketidakadilan dengan jargon diplomasi, mungkin sudah waktunya kita mengingat kalimat pujangga Persia, Saadi Shirazi: “Jika satu anggota tubuh terluka, seluruh tubuh akan merasa sakitnya. Mengapa kamu tidak peduli pada luka yang tak mengenai dirimu langsung?”
“Perdamaian bukan sekadar tiadanya perang, tapi hadirnya keadilan yang tak memihak senjata.” (**)