“Akses Difabel Dalam Demokrasi”
Oleh
Dr. Irawati Sabban, M.Pd (Akademisi Universitas Pasifik Morotai)
DARI realitas kekinian, tentang hal ihwal disabilitas amatlah menggugah emosional di ruang-ruang publik kita. Semacam ada banyak PR terhadap kesenjangan akses informasi dan demokrasi bagi mereka “kaum difabel”. Secara etimologi, difabel merupakan akronim dari different abilities people atau seseorang yang memiliki kemampuan berbeda atau kata lainnya penyandang disabilitas.
Jika kita mengamati lebih detail terhadap akses pelayanan demokrasi, ternyata masih ada segmen yang juga penting untuk dibahas yaitu tentang hak Difabel dalam kontestasi politik, menjadi bakal calon atau menjadi pemilih. Sebagaimana prinsip “no one left behind” tidak boleh ada penyandang disabilitas tertinggal dari berbagai program layanan.
Sebagai seorang yang concern kepada pendidikan inklusif merasa perlu untuk memberikan opini. Minimal ada semacam akses bagi difabel untuk menjadi partisipan dalam memilih pemimpinnya. Teruntuk bagi pembuat policy di daerah, cobalah menyisihkan sedikit waktu untuk memikirkan tantangan para penyandang disabilitas. Seperti resiko sosial ekonomi, keterbatasan akses akan informasi, akses lapangan pekerjaan, akses pendidikan, akses kesehatan, dan lainnya.
Menurut, Prof. Dr. Nunung Nuryartono, Deputi bidang kordinator kesejahteraan sosial. Menjelaskan Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah juga telah menerbitkan tujuh Peraturan Pemerintah (PP) sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Tentu, hal tersebut merupakan komitmen negara dalam mewujudkan kesetaraan dan kesamaan hak penyandang disabilitas, tidak hanya sebagai subyek tetapi juga berperan aktif dan ikut berkontribusi dalam pembangunan nasional.
Berdasarkan penetapan rekapitulasi daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, sebanyak 1.101.178 pemilih disabilitas pada pemilu 2024 dengan karakteristik disabilitas fisik, intelektual, mental, dan disabilitas sensorik.
Dengan demikian jelas bahwa tidak ada perbedaan perlakuan antar hak kaum difabel di ruang public. Sehingga untuk mewujudkan kualitas demokrasi, mesti dimulai dari penguatan kapabilitas para kontestan dan konstituen itu sendiri.
Berdasarkan penulusuran jejak digital dan membaca beberapa isu-isu menarik tentang ruang public kaum difabel. Informasi yang didapat sangat beragam namun beberapa konotasi yang muncul adalah diskriminasi, aksesibilitas dalam tipologi lokus yang berbeda-beda. Concern tulisan ini adalah potensi yang dimiliki oleh mereka untuk berpartisipasi dalam merencanakan masa depan mereka melalui partisipasi public.
Perlu diketahui public dalam konstitusi kita mengatur mengenai hak pilih yang wajib dilindungi dan diakui keberadaannya seperti termuat dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan ketentuan teknis yang diatur dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada, baik pada tingkat konstitusi tertinggi dan undang-undang dibawahnya yang bersifat sectoral mengenai hak politik, tidak ada satupun ketentuan yang bersifat diskriminatif. Sehingga ini adalah informasi yang harus diketahui oleh semua pihak tanpa terkecuali.
Kelemahan inilah yang menurut penulis harus disuarakan, yakni hak mendapatkan informasi kepemiluan dan akses untuk memilih dan dipilih. Sebab dengan begitu, negara telah hadir untuk menghormati dan melindungi setiap hak yang dimiliki pemilih disabilitas. Tulisan ini adalah salah satu dari beberapa strategi literasi pemilih yang telah digagas oleh penulis dalam mensosialisasikan Gerakan literasi pemilih berdaulat untuk pemilu berkualitas tahun 2024 nanti. (**)