“Amarah Sungai Sagea”

Oleh

Hartini Muhammad (Wartawan Terbitmalut.com)

INDONESIA, kerap kali disebut Ibu Pertiwi dikarenakan, melimpahnya kekayaan alam yang juga dimanfaatkan sebagai penopang kebutuhan para pribumi. Tanpa terkecuali, pada kekayaan pulau panjang atau Halmahera ialah wilayah yang berada di provinsi maluku utara dengan luas sebesar, 3.891,62 km persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 197.638 jiwa pada tahun 2020.

Hutan Halmahera kaya akan aneka ragam hayati sehingga selain mampu memberikan manfaat yang membantu perekonomian masyarakat setempat terdapat juga spesies endemik yang hidup di dalam hutan halmahera, satu diantaranya ada semioptera wallacii atau yang kita kenal dengan burung bidadari Halmahera. Selain banyaknya komoditas yang lahir dari alam halmahera, rupanya potensi wisata yang juga tak kalah indah seperti panorama bawah laut serta pantai berpasir putih juga menjadi bagian lengkap keindahan alam Halmahera.

Halmahera dengan segala kekayaan alam serta ekowisata yang melimpah harus mampu menjadikan “Kita sebagai regenerasi sadar dengan pengaruh perbuatan kita terhadap alam yang dititipkan dengan pilihan entah akan kita rawat ataukah kita rusak dengan membiarkan pertambangan menjamur di daratan pulau panjang ini”.

Halmahera bertelanjang, rupanya tepat kita sematkan jika berkaca pada aktivitas pertambangan yang aktif di dataran halmahera. Bahkan bukti bahwa kita telah merawat alam tentu akan kita rasakan dengan semakin melimpahnya hasil alam disertai tanpa ada keluhan dan tangisan lapar dan minimnya air bersih. Namun faktanya malah berbalik, beberapa waktu kemarin desa lingkar tambang di pulau panjang kembali menjadi sorotan.

Ialah gua Boki Maruru yang berlokasi di desa sagea kecamatan weda utara, kabupaten Halmahera Tengah. Di banyak artikel telah disebutkan betapa indahnya gua boki maruru dengan airnya yang jernih dan berwarna biru kehijauan. Namun kini, masyarakat setempat dibuat heran dengan air di gua boki maruru serta sungai sagea yang berubah warna menjadi keruh kekuningan layaknya amarah yang dimuntahkan oleh alam setelah lama menahan dampak buruk aktivitas pertambangan.

Tepatnya pada 14 agustus 2023 lalu, kita dikejutkan dengan pemandangan yang sudah biasa saat pertambangan bercokol, yakni beredarnya dokumentasi di media sosial terkait kondisi sungai sagea serta air di gua boki maruru ,kecamatan weda utara kabupaten halmahera tengah yang berwarna kecokelatan.

Memahami Ekofeminisme Dalam Masalah Tercemarnya Sungai Sagea.

Bahkan jika monster pengeruk hasil alam di pulau panjang telah berkuasa, anak cucu dalam waktu lama tetap menjadi korban jajahan di negeri sendiri. Sebut saja problem stunting yang menyerang indonesia. Hal tersebut, salah satunya disebabkan karena minimnya pemahaman ekofeminisme serta kebijakan pemerintah terkait kerja sama yang terjalin antara pribumi bersama para ekspatriat dengan alibi demi meraih kesejahteraan masyarakat, dan jelas hal tersebut dibantah dengan realita yang kasat mata saat ini.

Ekofeminisme ialah gabungan antara ekologi dan feminisme, secara sederhana ekofeminisme diartikan sebagai gerakan dalam melihat hubungan eksploitasi serta subordinasi terhadap lingkungan hidup dan perempuan. Tentunya ekofeminisme memiliki keterkaitan dengan berita tercemarnya sungai sagea, di antaranya terdapat penyebab atau dampak dari pencemaran sungai ini yang berpapasan langsung dengan kehidupan masyarakat setempat. Lalu di mana kohesi ekofeminisme dengan permasalahan ini?.

Sungai Sagea yang terjadi perubahan Warna air. (Dok. Istimewa)

Fakta dari tercemarnya Sungai Sagea oleh limbah cair hasil pertambangan akan mengotori Sumber mata air maupun sungai disekitarnya yang sering dipakai untuk kebutuhan masyarakat. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa akan menimbulkan permasalahan lain yang berhubungan langsung dengan manusia salah satunya kesehatan masyarakat yang terganggu, Apalagi sungai sagea menjadi salah satu lokasi mata pencaharian Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Bahkan selain air bersih sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakat yang berubah menjadi keruh maka hal yang sama juga terjadi pada ikan-ikan di sungai sagea, yang awalnya dikonsumsi oleh masyarakat namun kini mati sebab keracunan. Terlebih lagi jika ikan yang diperoleh dari sungai tercemar tersebut, dikonsumsi oleh masyarakat atau lebih khususnya oleh anak-anak serta perempuan hamil maka tentu yang terjadi ialah hal yang tidak diharapkan. Di sinilah kita lihat adanya Kohesi antara perempuan dan alam yang mengalami degradasi dan berpotensi berujung pada stunting.

Pada awal tahun 2023, kementrian kesehatan mengumumkan hasil SSG (survei status gizi indonesia) prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022. Namun isu stunting ini masih menjadi hal yang tidak baru lagi serta perlu adanya perhatian lebih atas sebab musabab terjadinya stunting di negara ini.

Mengutip pernyataan Rocky Gerung dalam talk show Q&A dengan tema no rocky no party, “kenapa misalnya hak mak-mak untuk melahirkan bayi yang sehat supaya potensi otaknya berkembang dihalangi oleh infrastruktur yang mengambil hak bayi itu dari hak terhadap susu pindah menjadi aspal jalan, itu kam intinya,”. Pernyataan ini menggambarkan satu dari sekian deretan dampak peran negara maupun pelayannya (pemerintah) dalam melihat masyarakat yang tidak sejahtera khususnya para perempuan dan anak yang rentan mengalami ketertindasan di negara ini.

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 Sebagai Acuan.

Sungai sagea mendapatkan dampak dari 3 tambang/perusahaan yang berada di hulu sungai ini, diantaranya ialah PT Weda By Nickel, PT. Halmahera Sukses Mineral dan PT. Tekindo Energi. Sementara sudah ada perusahaan tambang lain yang sudah masuk di wilayah Sagea tetapi belum beroperasi dikarenakan warga yang terus melakukan penolakan, diantaranya PT. First Pasific Mining, PT. Harum Sukses Mining dan PT Karunia Sagea Mineral (KSM).

Sungai Sagea, Kecamatan Weda Utara Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara (Dok. Istimewa)

Dalam tulisan kali ini, saya mengajak kita untuk memahami kembali konstitusi kita yang telah mengatur tentang, “bumi ,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yakni yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pasal ini menjadi bentuk bahwa rakyat memberikan mandat pada negara agar dapat mengolah sebijak mungkin terkait adanya SDA (sumber daya alam) indonesia yang dikuasai oleh negara yang tentu diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran atau kesejahteraan rakyat indonesia.

Berkaca pada permasalahan yang ada, khususnya terkait tercemarnya sungai sagea. Maka pasal 33 ayat 3 UUD 1945 harusnya mampu direalisasi negara, bukan malah membuka jalan pada pertambangan asing guna menguasai ibu pertiwi demi kebutuhan segelintir manusia rakus.

Krisis ekologi yang terjadi serta yang berdampak langsung oleh masyarakat khususnya di sekitar sungai sagea ini harus mendapatkan perhatian penuh oleh pemerintah dan wajib adanya penanganan lebih lanjut terhadap pertambangan maupun hal solutif yang harus diterima oleh masyarakat yang terimbas dampak sungai sagea yang tercemar.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip pernyataan Che Guevara dalam suratnya untuk kawan muda ,”Tulisan adalah senjata, sekaligus bujukan yang bisa menghanyutkan kesadaran perlawanan,”. Jika bisa, tulisan sederhana ini semoga mampu menjadi lute(api) yang membakar amarah anak negeri agar segera bangun dari tidur panjang memimpikan kemewahan dan mengorbankan alam demi pentingnya isi perut. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *