Pemilu dan Legitimasi Etis Kekuasaan

Oleh

Abidin Mantoti (Praktisi Pemilu)

PEMILU,  menjadi instrument penting untuk sirkulasi kekuasaan dalam sistem politik demokrasi. Kekuasaan bukan tujuan dari pelaksanaan pemilu, melainkan untuk mencapai apa yang dijanjikan demokrasi tentang kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan. Konstitusi telah menentukan prosedur dalam pemilu bahwa partai politik menyediakan kandidat dan warga negara akan memilih kandidat untuk mewakili mereka dalam kekuasaan. Sehingga dalam pemilu terdapat dua aspek yang sangat menentukan yang menjadi ruh bagi para politisi dalam menjalankan kekuasaan dan memiliki kaitan erat dengan pemilik kedaulatan yaitu keterwakilan dan akuntabilitas politik. 

Partai politik sebagai lembaga yang diberi kewenangan menyediakan kandidat politisi penguasa  untuk berkompetisi memperebutkan hak daulat rakyat dalam pemilu untuk menduduki kursi kekuasaan baik secara horizontal maupun vertikal dalam suatu daerah pemilihan dalam rangka mewakili rakyat melaksanakan kekuasaan pemerintahan sesuai aspirasi dan kepentingan politik yang dimandatkan. Setelah mandat kekuasaan diberikan oleh rakyat, penyelenggara negara atau penjabat publik ini terikat dengan akuntabilitas politik, yakni sejauh mana tingkah laku dan sikap para politisi atau pejabat negara dalam menjalankan kekuasaan senantiasa terikat dengan aspirasi dan kepentingan konstituen yang mereka wakili. 

Rakyat pemilih sebagai pemilik kedaulatan dalam demokrasi elektoral dapat menilai akuntabilitas politik setiap penjabat publik dengan memberikan hukuman atau penghargaan (punishment and reward) pada setiap iven pemilu, dalam hal tidak lagi memilih partai atau kandidat yang dinilai tidak melaksankan apa yang dijanjikan atau sebaliknya memilih kembali pada periode berikutnya karena dinilai memenuhi janji politik. Selain itu, akuntabilitas juga dapat berbentuk pertanyaan atau meminta penjelasan kepada penjabat publik atas tindakan yang dilakukan dan tidak dilakukan dalam masa jabatannya.     

Pemilu menjadi instrument kedaulatan setiap warga negara untuk memberikan reward bagi para politisi dengan memilihnya kembali jika dianggap  mampu mewujudkan cita-cita demokrasi. Rakyat juga memiliki hak memberi punishment dengan tidak memilih kembali saat pemilu berikutnya jika tidak becus dan mengingkari janji politik saat kampanye. 

Kekuasaan yang telah dimandatkan melalui pemilu demokratik memiliki aspek pertanggungjawaban etis dihadapan rakyat. Pemilu demokratik membedakan corak kekuasaan pada abad pertengahan secara mutlak yang diterima secara turun temurun berdasarkan wasiat dalam sistem kerajaan atau kekuasaan yang dititahkan dan atas nama suatu kekuatan magis dan adikudrati dalam sistem theokrasi. Corak kekuasaan sebagaimana dipraktikkan pada zaman pertengahan tidak memiliki aspek pertanggungjawaban dihadapan rakyat, karena bukan rakyat yang memilih para pejabat negara dan pemerintahan.  

Sejatinya kekuasaan yang terbentuk dalam demokrasi elektoral melayani sepenuh hati keinginan dan kebutuhan rakyat menuju kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan sesuai cita-cita demokrasi. Jika rakyat pemilih sebagai pemilik kedaulatan masih diliputi rasa takut akan kemiskinan dan kemelaratan, ketertinggalan, pendidikan dan kesehatan yang mahal, pengangguran semakin meningkat, dan rasa takut akan masa depan, maka tujuan dari demokrasi elektoral belum tercapai. Disisi lain, masih banyak pejabat negara  bersikap seperti raja dan sultan abad pertengahan, seakan memperoleh kekuasaan melalui warisan atau dititahkan oleh dewa dewi yang bersifat absolut sehingga anti kritik, korup, berlaku angkuh dan sewenang-wenang dihadapan rakyat. Penguasa hasil elektoral memposisikan sebagai tuan dan rakyat pemilih dianggap sebagai budak yang bekerja dan menghamba pada tuan. Lupa diri bahwa kekuasaan mereka berasal dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang diwakilkan melalui pemilu.

Kekuasaan semacam itu tidak dilandasi etika politik yang seharusnya menjadi fundamen bagi sikap dan tindakan para elit politik. Bisa jadi, hal ini disebabkan ketidaktahuan mengenai esensi demokrasi atau etika politik yang menjadi bahasan terpenting dalam filsafat politik. Oleh karenanya, penting untuk memahami diskursus etika politik yang dikemukakan Frans Magnis Suseno. 

Menurutnya, point penting dalam bahasan etika politik  adalah tentang legitimasi etis kekuasaan. Sejauh mana sang penguasa memiliki hak moral mempergunakan kekuasaan yang dimilikinya. Tentu eksistensi warga negara tidak dapat diabaikan karena dari mereka kekuasaan ada. Sebagai perangkat penting adanya kekuasaan, secara asasi dipundak rakyat terdapat tuntutan pertanggungjawaban. Karena kekuasaan politik merupakan realitas yang sosial-duniawi, maka aktor penguasa memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban. 

Magnis Suseno menyatakan dalam legitimasi etis, kekuasaan dianggap sah apabila sesuai dengan tiga prinsip.  Pertama, kekuasaan dijalankan sesuai legalitas yakni sesuai dengan hukum yang berlaku. Bahwa kekuasaan diperoleh secara konstitusional melalui pemilu dan penguasa dibawah kendali hukum. Penguasa tidak lagi legitimate ketika tindak tanduknya tidak sesuai konstitusi atau hukum. Jadi, kekuasaan yang dijalankannya harus sesuai aturan hukum (rule of law) yang berlakus. 

Kedua, kekuasaan itu disahkan secara demokratis atau bersumber dari legitimasi demokratis. Kekuasaan itu bersumber dari rakyat. Rekyatlah sebagai pemilik kedaulatan menyerahkan kekuasaan itu kepada seorang, sekelompok atau institusi politik seperti partai politik  dalam rangka menduduki lembaga-lembaga politik untuk menjadi penguasa dan mereka akan dituntut pertanggungjawaban atas kekuasaan yang diembannya. 

Ketiga, kekuasaan tidak bertentangan dengan prinsip dasar moral atau legitimasi moral. Bahwa kekuasaan dapat diperoleh dan digunakan secara baik dan tidak baik. Terdapat pertimbangan moral dalam penggunaan kekuasaan. Disini ada pertimbangan etis tentang kebaikan dan keburukan dalam penggunaan instrumen kekuasaan.  

Kekuasaan demokratis sejatinya mempertimbangkan tiga prinsip yang disampaikan oleh Magnis Suseno diatas. Jika kekuasaan tidak dijalankan sesuai tiga prinsip tersebut, bisa jadi kekuasaan masih dipahami berdasarkan paham religious, sehingga orientasi kekuasaan masih bercorak melayani diri sendiri dan kepentingan yang berafiliasi dengannya, jauh dari pertanggung jawaban etis sesuai prinsip demokratik. Para penguasa atau pejabat publiknya masih memahami kekuasaan sebagai realitas adiduniawi, gaib atau ilahi, dan merekayasa aturan dan hukum untuk melayani dirinya sendiri selama berkuasa. Padahal kekuasaan yang diperolehnya melalui mekanisme demokrasi elektoral. 

Kekuasaan bersifat adiduniawi dan ilahi dalam hal merasa dirinya memiliki seluruh instrument kekuasaan untuk mengendalikan sumberdaya kemudian menutup setiap akses bagi akuntabilitas politik oleh publik dari semua sisi, sehingga kekuasaan semacam ini menjadi suatu realitas tertinggi tak tergugat. Penguasa mendudukkan dirinya sebagai manifestasi mistis alam semesta dengan sendirinya merasa berada diatas segala aturan manusia. Tidak ada aturan hukum.

Paham rerilious kekuasaan menekankan bahwa penguasa tidak menerima kekuasaan dari rakyat dan oleh karena itu tidak bertanggung jawab terhadap rakyat. Namun, ciri khas kekuasaan semacam ini menyebarkan adagium dan opini secara terus menerus oleh kelompok pendukungnya dilingkaran kekuasaan bahwa rakyat dalam keadaan adil dan makmur serta asingnya cita-cita demokratis. Kemudian kekuasaan membenarkan dirinya sendiri, sehingga dianggap tidak masuk akal untuk mempertanyakan keabsahan moralnya.

Dalam kondisi ini, tidak masuk akal mempertanyakan kedudukan penguasa dengan cara seperti apa sang penguasa berhak atas kekuasaan, apakah dengan turun temurun atau melalui pemberontakan dan bagaimana mempergunakan kekuasaannya. Faktanya penguasa membenarkan sendiri kekuasaannya. Tidak ada tuntutan agar kekuasaannya digunakan sesuai norma-norma tertentu. Karena kekuasaan bersumber pada realitas adiduniawi dan ilahi, paham kekuasaan semacam ini mengabaikan tuntutan pertanggungjawaban.

Gambaran penyelenggaraan mandat kekuasaan semacam itu dalam demokrasi politik modern masih menghantui praktik politik kekuasaan oleh elit politik kita dewasa ini, baik dilembaga legislatif maupun eksekutif, dipusat maupun daerah. 

Saat ini kita tidak lagi pada periode zaman dengan legitimasi kekuasaan yang bersifat religious. Dimana seorang penguasa membenarkan dirinya sendiri atas dasar legalitas dan kebijakan pragmatis-tentatif. Tindakan kekuasaan harus sesuai dengan hukum saja tidak menjamin prasyarat sebagai kemampuan suatu negara modern selama mengabaikan legitimasi moral maupun legitimasi demokratis. Penggunaan kekuasaan harus adil dengan mengedepankan hak-hak asasi manusia. 

Negara dan pemerintahan dalam bentuk apa pun tidak boleh membenarkan segala tindakan hanya dengan pengandaian bahwa tindakan itu sesuai dengan hukum yang berlaku. Walau penguasa semacam ini telah memenuhi prinsip legitimasi demokratis dan terpilih melalui proses elektoral. 

Menurut Magnis Suseno, jika hukum tidak memadai dimana hak dan aspek-aspek keutuhan kemanusiaan penting tidak mendapat perlindungan atau jika ada undang-undang dan peraturan sengaja dibuat kabur dan menguntungkan segelintir kelompok orang kemudian dengannya memberi legalitas bagi tindakan negara atau pemerintahan yang meragukan dan mendiskreditkan ataupun merugikan yang lainnya, bahwa tindakan negara atau pemerintahan yang memanfaatkan hukum semacam itu secara moral tidak dapat dibenarkan. Legalitas belum menjamin moralitas negara atau pemerintahan. Bahkan jika itu didukung oleh mayoritas, kebijakan kekuasaan politik semacam itu belum menjamin harkat moral kebijakan tersebut.

Saat ini masih banyak pejabat negara yang terpilih dari proses demokrasi elektoral baik kepala daerah maupun anggota legisltaif yang berpaham religious kekuasaan. Fenomena ini tercermin dari sikap membenarkan dirinya sendiri atas dasar legalitas dan kebijakan pragmatis untuk kepentingan kelompok dan elit dengan mengorbankan rakyat, mengabaikan aspirasi, janji politik, tuntutan maupun pertanyaan dari rakyat. Tidak amanah terhadap janji politik saat kampanye. Diskriminasi dan perlakuan tidak adil pada oposisi serta bersikap angkuh dihadapan rakyat. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *