ads
ads
ads

“Mengukir Nama, Merawat Sejarah: Usulan Pelabuhan Imam Lastori” Sebuah Ikhtiar Menyulam Ingatan Kolektif.

Oleh ; Arafik A Rahman (Penulis buku)

“Pelabuhan adalah ibu kota pertama peradaban manusia; di sanalah bangsa-bangsa lahir, dan dari sanalah dunia dijelajahi.” ( Fernand Braudel), sejarawan dunia terkemuka dalam karyanya “The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II“.

Di setiap peradaban, pelabuhan selalu menjadi lambang perjumpaan dan pergerakan. Ia bukan sekadar dermaga tempat kapal-kapal berlabuh, melainkan simpul di mana sejarah dan masa depan saling bertaut. Di Pulau Morotai, Pelabuhan Umum Daruba telah lama menjadi pintu utama bagi nadi perekonomian dan mobilitas masyarakat.

Kini, hadir sebuah usulan penuh makna: mengganti namanya menjadi Pelabuhan Imam Lastori, demi mengenang seorang anak Daeo yang telah mengabdikan hidupnya untuk membelah samudra keterbelakangan menuju dermaga otonomi. Muhammad Saleh Lastori atau yang akrab dikenang sebagai Imam Lastori bukanlah sekadar sosok pemuka agama.

Ia adalah arsitek perlawanan sunyi yang dengan kesederhanaannya, menanam benih pemekaran Morotai sejak fajar reformasi. Di tengah deru konflik yang melanda Maluku dan Maluku Utara, ia dengan sabar menyampaikan harapan rakyat Morotai kepada Megawati Soekarnoputri pada 26 April 2000. Suaranya lirih, namun visinya menembus zaman. Dari pertemuan itulah, gema pemekaran Morotai mulai terdengar.

Imam Lastori tak berhenti di situ. Tahun 2001, ia menghimpun para tokoh untuk membentuk Tim Perjuangan Pemekaran. Meski gelombang pertama hanya menghasilkan Morotai sebagai kawasan ekonomi khusus di bawah Halmahera Utara, ia tak gentar. Tahun 2006, semangatnya kembali menyala. Ia membentuk tim untuk menggagas Teks Deklarasi yang dibacakan Said Banyo Ketua KNPI Kecamatan di pasar Cita Daruba kala itu tahun 2006, saat kunjungan DPRD Halut.

Hingga akhirnya pada 29 Oktober 2008, Pulau Morotai sah menjadi daerah otonom, sebuah momen yang dikukuhkan dalam UU Nomor 53 Tahun 2008. Baca Rahman Arafik, “Perang Pasifik Pemekaran dan Pembangunan”, 2022. Penyematan namanya pada pelabuhan bukan sekadar penghormatan, melainkan peneguhan atas sejarah yang bekerja secara diam-diam, namun menentukan.

Seperti kata ahli sejarah terkemuka, Eric Hobsbawm, “History is not what happened. History is what people remember.” (Sejarah bukanlah apa yang terjadi. Sejarah adalah apa yang diingat orang.) Imam Lastori bukan hanya bagian dari catatan administratif, melainkan sosok yang hidup dalam memori kolektif masyarakat Morotai.

Dari sisi otonomi daerah, usulan ini juga menjadi simbol yang relevan. Seperti diungkapkan oleh Prof. Ryaas Rasyid, pelopor desentralisasi Indonesia, “Otonomi daerah adalah instrumen untuk memperpendek jarak antara pemerintah dan rakyatnya, serta mewujudkan keadilan yang lebih merata.” Imam Lastori adalah wujud nyata dari semangat itu: merapatkan jarak antara rakyat dan negara, menjemput kemandirian di pelabuhan sejarahnya sendiri.

Kini, diantara debur ombak Daruba yang tak pernah lelah menyapa pantai, usulan ini menyerukan satu pesan: agar setiap kapal yang bersandar di Pelabuhan Imam Lastori kelak tak sekadar membawa barang dan manusia, tapi juga membawa semangat perjuangan, keadilan dan cinta pada tanah kelahiran. Sebab nama adalah doa dan pelabuhan adalah awal perjalanan. Semoga ikhtiar ini menjadi suluh bagi Morotai yang terus mengarungi lautan zaman.

Semoga ada dukungan bagi mereka yang memahami kenapa, siapa, apa, dimana dan bagaimana sejarah itu bergerak dan terbentur dalam ingatan. Jika ada yang tak sepemikiran, bagi saya itulah dinamikanya. Yang terpenting adalah cara kita memandang secara rasional dan objektif.

“Sebuah pelabuhan bukan hanya tempat kapal bersandar, tetapi tempat sejarah bermuara.” Arafik A Rahman. (**)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *