ads

WEDA, TERBITMALUT.COM — Di balik eksotisme Goa Bokimaruru yang memukau dan derasnya aliran Sungai Sagea yang menjadi magnet wisata, tersimpan kegundahan mendalam dari para pengelola dan pedagang kecil. Mereka bukan sedang menikmati manisnya hasil kerja keras, tapi justru menghadapi tekanan yang mengancam keberlangsungan usaha yang telah mereka bangun dengan susah payah.

Sejak pemilihan bupati dan wakil bupati sebelumnya, konflik ini mulai mencuat. Para pengelola wisata dan ibu-ibu pelaku UMKM menuding pemerintah desa (pemdes) dan kecamatan bertindak atas dasar dendam politik. Mereka merasa, aset wisata yang sejak awal dikelola mandiri oleh warga Sagea Kiya, kini coba diambil alih secara sepihak oleh pihak yang sebelumnya tak pernah ambil bagian dalam pembangunan.

“Kami ini hanya masyarakat biasa, membangun wisata dari nol tanpa bantuan siapa pun. Tapi ketika mulai ramai, justru kami diusik,” ujar Rusman Dj Sehe, Ketua Pengelola Wisata Goa Bokimaruru, dengan nada kecewa Selasa, (15/4/2025).

Goa Bokimaruru, yang berdiri di atas lahan pribadi, dibangun bersama-sama oleh warga lokal dan para ibu pedagang. Namun, pemerintah desa dan kecamatan bersikukuh bahwa lahan parkir dan jalan masuk merupakan aset pemerintah. Bahkan lebih jauh lagi, mereka mengklaim sungai dan goa sebagai milik desa.

Ketegangan memuncak ketika baru-baru ini rombongan wisatawan, termasuk turis mancanegara, dihalangi masuk ke kawasan wisata oleh oknum pemdes. Wisatawan terpaksa pulang. Para pedagang kehilangan pelanggan. Ekonomi kecil yang bergantung pada sektor ini lumpuh seketika.

ads

“Kami hanya ingin berjualan dengan tenang. Tapi sekarang, pembeli tidak ada karena pengunjung diusir,” keluh seorang ibu pedagang yang enggan disebut namanya ketika ditemui.

Upaya mediasi telah dilakukan. Namun, Rusman mengungkapkan bahwa pihaknya telah bertemu Sekretaris Daerah Halmahera Tengah. Namun hasilnya nihil. Tidak ada kejelasan, tidak ada solusi. Pertemuan dengan Wakil Ketua DPRD Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda, juga belum menunjukkan perkembangan berarti.

“Masalah ini menyangkut hak masyarakat. Kami sudah tempuh cara damai, tapi jika terus diabaikan, siapa lagi yang bisa kami andalkan kalau bukan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara?”tegas Rusman.

Kini, suara-suara dari balik gemuruh Sungai Sagea itu meminta keadilan. Sebuah harapan sederhana dari rakyat kecil: bisa bekerja, bisa hidup damai di tanah sendiri, tanpa tekanan politik dan penguasaan sepihak atas jerih payah mereka.

Goa Bokimaruru mungkin tetap indah di mata wisatawan, tapi luka yang menganga di hati para pengelolanya tak bisa disembunyikan dari mereka yang peduli. (**)

Penulis : Dewa

ads

Editor : Redaksi

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *